Cerita rakyat Si Pitung Bandit yang cerdik pendekar Betawi Asli

Cerita rakyat Si Pitung Bandit yang cerdik pendekar Betawi
Gambar si pitung. Kaskus.co.id
Si Pitung Kecil Anak Betawi—Pada zaman dahulu sebelum telah menjadi sejarah kini, hiduplah sebuah keluarga di daerah Rawabelong yang terletak di Jakarta Barat. Ialah Si Pitung, seorang anak laki-laki yang tinggal bersama Babeh dan Nyak nya, istilah panggilan bagi kedua orangtua menggunakan sapaan khas orang-orang betawi. Mereka hidup pada masa penjajahan belanda di indonesia, atau sering disebut zaman Kompeni.

Kehidupan sederhana mereka jalani dengan bahagia dan baik-baik saja, akan tetapi harapan sangat tinggi dititipkan pada masa depan anak Babeh dan Nyak, ialah si Pitung kecil. Babeh dan Nyak ingin anaknya menjadi manusia yang baik, soleh dan tentu saja kelak dapat menjaga diri atau bahkan dapat menjaga orangtuanya sendiri.

Keputusan Babeh dan Nyak mengirimkan Pitung kecil ke sebuah pesantren yang dimiliki oleh seorang guru ngaji bernama Haji Naipin. Di sana Pitung kecil belajar mengaji, membaca, menulis, berhitung dan terakhir belajar ilmu bela diri. Ya, orang-orang betawi juga sangat kental dengan adatnya kala itu, salah satunya adalah bela diri.

Hari demi hari berlalu dilalui Si Pitung kecil dengan sangat tekun. Ia termasuk salah satu murid kesayangan Haji Naipin, semua itu berkat ketekunan dan sikap rajin Pitung kecil ketika belajar. Tak hanya itu, Pitung kecil juga memiliki banyak teman di pondok sebab ia mampu dengan cepat untuk beradaptasi pada lingkungan baru. Bahkan ia jarang pulang ke rumah Babeh dan Nyak, sebab ia ingin belajar sebaik mungkin supaya orangtuanya bangga.

***

Si Pitung kecil sudah mulai mahir menulis, membaca dan menghitung. Apalagi dengan perkembangan yang cepat ia sudah memiliki kemampuan bela diri yang melebihi usianya sendiri. Sehingga sangat mudah baginya untuk cepat menyelesaikan semua jurus-jurus dalam bela diri. Ia sudah terbiasa menggunakan golok khas yang biasa digunakan dalam bela diri. Ya, dia sudah memiliki golok sendiri, namun tentu saja untuk sementara hanya digunakan sebagai alat selama belajar. Kemudian golok itu hanya digunakan saat berlatih dengan para jagoan senior yang lebih profesional.

Hari demi hari cepat berganti minggu kemudian berganti tahun dengan segera. Maka sudah tiba saatnya Si Pitung kembali ke rumahnya di Rawabelong.

“Pitung, muridku.” Haji Naipin mengawali perkataannya sembari memegang pundak murid kesayangannya. “Sekarang elu bisa balik ke rumah Babeh dan Nyak. Rasanya udah cukup elu belajar semua ilmu. Gua udah ajarin semua ilmu dan cara yang ada.”

“Baiklah, Haji Naipin. Pitung pamit dulu,” ujar Si Pitung yang sudah bersiap untuk pergi. “Doakan Pitung, Haji Naipin!”

“Tentu saja. Semoga semua ilmu yang elu punya selanjutnya bisa dimanfaatin baik-baik.” Haji Naipin berpesan supaya Si Pitung bisa menggunakan kemampuan yang dimilikinya dengan baik, kemudian ditujukan hanya untuk kebaikan semata.
Tanpa banyak kata lagi akhirnya Si Pitung kembali ke rumahnya di Rawabelong. Tentu saja ia sudah sangat merindukan Babeh dan Nyak di rumah, ia sudah dewasa dan sudah siap menjaga diri dari berbagai ancaman yang akan datang kapan saja.

Masa kecil telah melenggang pergi bersama tenggelamnya matahari kemarin sore. Tak bisa lagi berlarian di pematang sawah untuk mengejar layangan putus. Sebab itu tak lagi berlaku. Kini perjalanannya mulai berliku dan mungkin saja akan sulit untuk dilalui, karenanya Si Pitung sudah siap dengan perbekalan menuju masa depannya. Ia sangat yakin jika dirinya akan berusaha sebaik mungkin supaya mendapatkan masa depan terbaik di dalam hidupnya, mulai dari hari ini. Hari dimana ia keluar dari pesantren milik Haji Naipin yang semakin sepuh. Entahlah, apa Haji Naipin akan masih menerima anak didik baru atau tidak. Hanya dia yang lebih tahu.

Terlihat ujung atap surau yang masih terlihat milik Haji Naipin kala Si Pitung berbalik badan. Selanjutnya ia berjalan lagi dan lagi tanpa khawatir sedikitpun. Ia anak Babeh dan Nyak yang pemberani, itulah mottonya.

***

Langkah kaki terhenti ketika menatap sebuah daun pintu yang masih tertutup rapat. Mungkin saja penghuninya masih di ladang, pikirnya pendek.

Si Pitung telah sampai di depan rumahnya yang sepi, tak terlihat Babeh atau Nyak di luar rumah. Bahkan tidak terdengar suara nyaring Nyak yang sering berteriak ketika sedang terkejut atau marah. Ya, mungkin semua itu hanya terjadi sebelum ia pergi ke pondok pesantren.

Si Pitung merasa sangat merindukan mereka berdua, hingga membuat kakinya kembali melanjutkan perjalanan di pijakan-pijakan terakhir menuju rumahnya, kemudian ia segera menarik gagang pintu.
“Assalamualaikum, Babeh! Nyak!” seru Si Pitung mencari keberadaan orang tuanya, dimana kembali tampak ruang tamu tanpa penghuni. Kemudian ia segera berjalan menuju dapur dan terlihatlah Babeh dan Nyak sedang bercengkerama di dapur sembari menikmati uli dan secangkir kopi.

“Alhamdulillah, anak Babeh balik juga akhirnya,” ucap Babeh yang segera menghampiri Si Pitung kemudian segera memeluknya. “Elu udah gede juga rupanya.”

“Iya, Babeh. Pitung sekarang balik. Soalnya Haji Naipin minta Pitung buat balik hari ini,” ujar Si Pitung yang tersenyum bahagia di depan Babeh. “Nyak dimana, Beh?”

“Nyak di luar lagi cuci piring sebentar,” jawab Babeh yang segera mengajak Si Pitung duduk di kursi kayu yang panjang, khas betawi. “Nyak! Nyak!”

“Iya! Sebentar,” sahut Nyak dari luar. Kemudian tak lama masuklah Nyak ke dalam dan seketika membuatnya kaget melihat Si Pitung yang pulang. “Pitung, balik sekarang?”

“Iya, Nyak. Pitung disuruh balik sama Haji Naipin. Katanya ilmunya sudah dirasa cukup.” Si Pitung menjelaskan dengan baik di hadapan orangtuanya.

Tanpa banyak lagi bertanya maka Nyak segera mengajak babeh dan Si Pitung untuk makan bersama. Ya, kebetulan hari ini Nyak masak makanan enak dan lezat. Hal itu dibuktikan dengan lahapnya Si Pitung ketika menyantap makanan, maklum saja selama di pondok pesantren dia tidak makan terlalu banyak dan hanya seadanya. Babeh dan Nyak hanya tertawa kecil melihat tingkah anaknya yang begitu menikmati makan siangnya.

Lengkaplah sudah kini keluarga Babeh, sebab anaknya yang barusaja pulang dari pondok pesantren telah kembali. Mereka menjadi keluarga yang lengkap kembali setelah cukup lama mereka hanya berdua tanpa ditemani Si Pitung yang sedang mengaji.

***

Si Pitung sudah dididik secara mandiri supaya bisa hidup dengan mandiri dan rajin. Ia membantu pekerjaan kedua orangtuanya yang sekiranya dapat dilakukan dengan mudah. Ternyata Si Pitung memang bersungguh-sungguh ketika sedang belajar, sehingga ia mampu menjadi anak yang baik dan soleh sebagaimana yang ia harapkan.

Baca Juga : Cerita Cinderaras

Babeh dan Nyak berpikir demikian setiapkali Si Pitung tengah melakukan sesuatu yang bahkan setiap anak tetangganya tidak melakukan hal yang sama. Kemudian ia selalu menggembala kambing-kambing milik ayahnya. Dimana ia akan menggiringnya ke padang rumput dan membiarkannya sampai kenyang. Setelah itu barulah kembali ke rumah dengan keadaan kambing-kambingnya telah merasa sangat kenyang. Maka tidak dapat dipungkiri jika kambing miliknya sangat gemuk dan sehat.
Ya, Si Pitung melakukannya dengan senang hati sehingga tidak ada rasa sulit dalam hampir seluruh kegiatannya di rumah. Si Pitung sudah dewasa dan mampu memilih segala pilihan di dalam hidupnya. Ya, anak Babeh dan Nyak sudah gede rupanya.

***

Si Pitung Sang Jawara


Suatu hari Babeh hendak pergi ke pasar untuk menjual beberapa kambing miliknya, namun sepertinya urung dilakukan Babeh kerena itulah dipanggil Si Pitung dengan segera.
“Pitung!” seru Babeh dari ruang tengah. Kemudian dengan segera Si Pitung datang dari ruangdapur.
“Iya, Babeh. Ada apa?” tanya Si Pitung kemudian.

“Tolong jual kambing-kambing Babeh ke pasar. Hari ini Babeh kurang enak badan,” ujar Babeh yang hari ini merasa tidak enak badan karena kecapekkan. Ya, ia kehujanan kemarin setelah bekerja di ladang.

“Oh, tentu Babeh. Pitung bisa jual kambingnya ke pasar.” Si Pitung segera menjawab dengan cepat.
Kemudian tanpa banyak tanya dan bicara, Si Pitung segera menggiring kambing-kambing milik Babeh menuju ke pasar tanah Abang. Ia merasa tidak kesulitan untuk melakukannya sebab ia sudah terbiasa menggembala kambing milik Babeh.

Tak lama kemudian akhirnya Si Pitung sampai di pasar, tak lama juga akhirnya ia sudah menjual kambing-kambingnya dengan harga tinggi. Hal itu bisa terjadi sebab kambing-kambingnya gemuk dan sehat. Sehingga para penjual di pasar tertarik dan segera menawarkan harga padanya, ia mendapatkan banyak uang dan berniat untuk segera pulang ke rumah. Tak lupa ia segera memasukkan uangnya ke dalam kantong bajunya lalu segera pergi dari pasar.

Perjalanan Si Pitung harus terhenti oleh sekelompok preman yang mengahadangnya di perjalanan.
“Hei anak muda!” seru seorang preman. “Lu mau pulang kemana?”

“Ke Rawabelong, Bang.” Jawab Si Pitung.

“Ya, udah. Lu pulang sana,” ujar si preman lagi, kemudian mereka pergi dan Si Pitung melanjutan perjalanan.

Sebentar lagi Si Pitung aan sampai di rumahnya, namun ia barusaja tersadar jika uang yang ada di dalam kantongnya hilang. Si Pitung meyakini bahwa para preman itulah yang telah mengambil uangnya. Kemudian dengan cepat Si Pitung kembali ke kawasan pasar untuk mengambil kembali uangnya. Awalnya mereka tidak mengaku kemudian beralasan yang tidak rasional. Maka Si Pitung mengeluarkan jurus bela dirinya untuk melumpuhkan para preman yang sudah membohonginya. Ia kembali mendapatkan uang hasil penjualan kambing milik Babeh, sedangkan para preman lari terbirit-birit karena ketakutan.

***

Suatu hari datang seseorang yang asing ke rumah Si Pitung, ialah pemimpin para preman yang sempat mengambil uang miliknya beberapa waktu yang lalu. Ketua preman itu hendak mengajak Si Pitung untuk menjadi seorang pencopet di pasar. Sontak saja Si Pitung tidak menerimanya, sebab ia sama saja dengan mengotori semua ilmu yang sudah diterimanya dari Haji Naipin dulu. Maka ia menasehati si pemimpin preman supaya bisa melakukan kebaikan bukan kejahatan masyarakat.
Kemudian tercetuslah ide untuk mencopet semua orang kaya yang sombong, kemudian Si Pitung dan kawan-kawan preman itu diberikan kepada orang-orang miskin. Sehingga orang-orang miskin sangat terbantu oleh bantuan mereka, kegiatan ini mereka lakukan dalam jangka waktu yang berlangsung cukup lama.

Kegiatan yang dilakukan Si Pitung dan kawan-kawan menjadi salah satu tindak kejahatan menurut orang-orang kompeni. Dimana saat itu pihak belanda sedang menduduki indonesia. Maka Si Pitung dipenjara namun bisa melarikan diri dengan menaiki atap penjara dan kabur. Pihak keamanan belanda mengetahui informasi kaburnya Si Pitung dari penjara, maka ia dijadikan seorang buronan yang diburu pihak keamanan.

Para kompeni menyambangi setiap tempat yang sekiranya akan dijadikan tempat persembunyian. Ialah rumah Babeh dan Nyak kemudian pondok pesantren Haji Naipin. Kompeni Belanda terus memaksa kepada mereka supaya memberi informasi keberadaan Si Pitung, namun mereka semua tidak mengetahui keberadaannya kini.

Akhirnya Si Pitung ditemukan oleh pihak belanda, ia segera ditembak di tempat kejadian setelah diketahui kelemahan Si Pitung melalui informasi dari Haji Naipin. Ya, Haji Naipin dengan sangat terpaksa memberitahukan kelemahan Si Pitung kepada pihak belanda yang tidak segan akan membunuh para muridnya yang tidak berdosa. Kelemahannya adalah telur busuk. Ya, seketika Si Pitung tubuhnya menjadi lumpuh oleh lemparan telur busuk dari para kompeni belanda yang sudah mengetahui keberadaannya.

Baca juga : Cerita Roro Jonggrang

Si Pitung jawara dari betawi telah tiada. Namun ia tetap dikenang oleh rakyat betawi sebab telah menjadi seorang pahlawan yang mempedulikan masyarakat miskin kala itu. Sejarah Si Pitung disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun, hingga kini kisahnya masih mengharum di tanah betawi. Bahkan terdapat satu rumah di kawasan Rawabelong yang disinyalir sebagai rumah Si Pitung, lengkap dengan perlatan beladirinya seperti golok dan lain-lain.

Ya, seperti istilah lama mengatakan Harimau mati meninggalkan belang dan gajah mati meninggalkan gadingnya. Demikian juga dengan Si Pitung yang menjadi jawara Betawi yang menyayangi rakyat betawi. Meskipun ia harus dianggap sebagai penjahat oleh para kompeni di masanya .

***
Selesai

Pesan moral yang dapat diambil adalah kita harus bisa menjaga diri dan melindungi orang lain dari segala bahaya. Kemudian jangan lupa untuk jangan pernah menyerah, sebab itu tidak pernah baik untuk dilakukan.

Kesimpulan: Artikel/cerita ini bertujuan untuk mengedukasi setiap pembaca supaya dapat mengambil hikmah dan pesan-pesan terbaik. Kita tidak boleh menyerah begitu saja sebelum benar-benar berusaha dan jangan pernah lupa untuk belajar peduli dengan lingkungan sendiri.

Desiana P

Belum ada Komentar untuk "Cerita rakyat Si Pitung Bandit yang cerdik pendekar Betawi Asli"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel