Cerita Rakyat Batu Menangis Kisah Legenda asal Kalimantan

Cerita Rakyat Batu Menangis Kisah Legenda asal Kalimantan
 Sebuah kisah yang menceritakan : Seorang gadis cantik dan Cinta seorang Ibu. Yuk kita simak kisahnya


Ibu Tua dan Gadis Cantik—Dikisahkan pada zaman dahulu orang-orang yang sibuk bekerja di ladang identik dengan tampilan wajah yang kotor dan baju yang dekil. Bekerja di ladang berarti mengolah tanah supaya nantinya dapat ditanami dengan berbagai sayur mayur pilihan. Mereka berkonsentrasi dengan ladangnya, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurusi dirinya sendiri. Sebaliknya mereka yang malas adalah mereka yang tidak pernah bekerja, adapun rutinitasnya adalah hanya bersolek di depan cermin setiap hari. Ya, hal itu sama terjadi di sebuah wilayah di indonesia bernama kalimantan selatan. 

Seorang ibu yang sudah tua hidup di rumah yang berada di sebuah bukit, tanahnya  cukup subur sehingga dapat ditanami berbagai macam tanaman. Ia bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup, caranya dengan bercocok tanam kemudian dijual ke pasar beberapa kali dalam satu minggu. Setiap hari ia bekerja seorang diri tanpa menghiraukan rasa lelah yang menghinggapinya.
Sang ibu tinggal  bersama seorang anak perempuan, sering disebut sebagai Anak Gadis. Ya, dia memang gadis yang cantik jelita dengan paras yang rupawan. Anak Gadis memiliki sikap yang tidak baik, yakni tidak pernah sekalipun membantu ibunya di ladang. Kegiatan yang sering dlakukannya adalah hanya duduk dan bersolek setiap hari. Anak Gadis beralasan, jika ia membantu sang ibu di ladang maka kecantikannya akan memudar, ia tidak ingin disebut sebagai gadis yang tidak cantik.
Cerita Rakyat Batu Menangis Kisah Legenda asal Kalimantan
Image by rivorma.com

Ya, keadaannya memang berbalik dengan sang ibu yang tidak lagi memiliki kesempatan untuk lebih mengurusi dirinya sendiri. Ia terbiasa keluar rumah tanpa riasan yang membuatnya terlihat lebih segar, ia seperti wanita-wanita biasa yang bekerja di ladang. Sang ibu hanya memikirkan nasib tanamannya dan bagaimana supaya dagangannya ke pasar bisa laku terjual. 24 jam yang tersedia setiap hari bahkan terasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tidurnya dengan baik. Sehingga terkadang ia harus tetap bekerja dalam keadaan sakit sekalipun. Namun untuk kesekian kalinya Anak Gadis itu tak pernah sekalipun mau meringankan sedikit beban di dalam hidup ibunya sendiri.

***

Terdengar suara batuk yang cukup berat dari kamar sang ibu di pagi hari yang masih berselimut kabut tebal.

“Bu! ibu!” teriak Anak Gadis kepada ibunya.

Ibunya merasa tidak enak badan, sehingga memilih untuk tidur di atas kasur lebih lama. Bahkan ia tidak berencana untuk menjawab teriakan anaknya sendiri, ia merasa sangat lelah.

“Ibu kemana saja, aku panggil berkali-kali tak ada jawabannya,” seru Anak Gadis yang sudah ada di kamar ibunya yang terlihat sedang terbaring lemas.

“Ada apa, anakku?” tanya sang ibu yang berusaha bangun dari tempat tidurnya.

“Aku ini lapar, mana sarapan untukku.” Anak Gadis meminta sarapannya seperti biasa. Ya, sebelum pergi bekerja, biasanya sang ibu selalu memasak sarapan untuk anaknya.

“Ibu sedang tidak enak badan, nak.” Sang ibu menjawab lemas.”Bisakah engkau membuatnya sendiri?”

Anak Gadis langsung berkacak pinggang, ”Apa maksud Ibu? Memasak? Aku tidak ingin melakukannya. Aku hanya ingin sarapan, titik!”
“Tapi, anakku!” seru sang ibu hendak menolak.

“Tidak ada penolakan, Bu.” Anak Gadis berkali-kali mengacungkan telunjuknya di hadapan sang ibu. “Aku ingin sarapan.”

Sang ibu berusaha bangun dari tempat tidurnya meski dengan tertatih. Ia tidak bisa mengandalkan Anak Gadis untuk membantunya, bukan Anak Gadis tidak bisa tapi ia tidak mau membantu ibunya sendiri yang sudah sangat tua itu. Kemudian sang ibu menuju dapur dan memasak sarapan untuk mereka berdua.

Berkali-kali dalam hati ia berkata, “Wahai yang kuasa, kapankah aku akan menikmati masa tua dengan tenang,” ujarnya sendiri. Ya, ingin rasanya sang ibu bisa menikmati masa tua tanpa perlu mendapatkan tekanan hidup dan kondisi seperti saat ini. Ia berharap bahwa sang suami belum meninggal dan dia pasti akan selalu menemaninya dalam keadaan sakit seperti ini. Sayangnya semua itu hanyalah keinginan semata, sementara takdir sudah mengambil rencana itu bertahun-tahun lalu.

***

Hari ini sang ibu sedang berjalan kaki menuju pasar, ia barusaja menuruni bukit yang menghubungkannya dengan jalan desa. Seperti biasa ia akan menjajakan dagangannya di pasar desa yang setiap hari beroperasi. Lalapan dan sayuran selalu mengisi bakul dagangannya dan terkadang ia akan berhasil menjual seluruh dagangannya hingga tak bersisa. Sehingga ia dapat membeli beberapa lauk untuk teman nasi di rumahnya. Ya, ia tidak ingin mendengar Anak Gadis meminta dibelikan lauk yang enak. Maklum saja mereka hanya bisa memasak nasi dan sayuran hampir setiap hari.

“Bu, kenapa kita makan ini lagi, ini lagi!?” teriak Anak Gadis yang melihat menu makannya yang hampir sama setiap hari. Sedangkan ibunya barusaja masuk ke dalam rumah setelah memanen hasil kebunnya untuk dijual esok hari.

“Memangnya kau ini mau makan dengan apa?” tanya sang ibu yang berusaha mendengarkan keinginan anaknya.

“Aku ingin makan daging, Bu.” Anak Gadis memelas pada ibunya yang sebenarnya masih terlihat kelelahan.

“Baiklah, anakku. Doakan semoga besok Ibu bisa membelikanmu lauk yang enak.” Sang ibu mencoba menenangkan anaknya yang berharap keinginannya dapat terpenuhi.

Kemudian tanpa banyak kata, Anak Gadis langsung pergi dan tak berniat untuk makan sebelum ibunya mau membawakan makanan yang enak di atas meja.

Membahagiakan anak satu-satunya adalah tugas yang seolah menjadi kewajibannya, sehingga ia tidak pernah merasa lelah dan menyerah untuk bekerja. Hal itu harus dilakukan supaya ia bisa membahagiakan satu-satunya teman di dalam hidupnya.

Akhirnya hari ini lauk enak untuk Anak Gadis sudah dibeli, tentusaja ia akan sangat senang melihat ibunya pulang membawa makanan yang enak. Meskipun ia harus pulang lebih siang sebab menunggu dagangannya laku terjual semua. Sehingga ia harus berjalan menuju rumahnya di waktu siang yang panas, tak ayal itu akan membuatnya kelelahan karena harus menaiki bukit menuju rumahnya. Beberapa kali ia harus istirahat melepas lelah dengan mengipasi dirinya sendiri.

Ia melamunkan dirinya sendiri yang merasa sudah sangat tua dan umur pun sepertinya akan segera berakhir. Akan tetapi bukan itu yang ia khawatirkan, melainkan nasib anaknya. Akan jadi apakah anaknya, Anak Gadis jika ia dengan terpaksa harus tinggal seorang diri. Apalagi ia tidak memiliki kemampuan bertani maupun berdagang. Anaknya terbiasa untuk menggantungkan segalanya dengan bantuan orang lain. Ia sudah berusia dewasa namun belum juga belajar untuk mandiri. Semoga yang kuasa akan selalu memberinya sehat dan umur panjang supaya anaknya masih bisa memiliki teman untuk berkeluh kesah, tak lain adalah ibunya sendiri.
Kemudian ia melanjutkan perjalanan, khawatir jika Anak Gadis sudah menunggunya dengan perut yang menahan lapar karena belum makan sedari pagi. Semoga Anak Gadis akan menyukai makanan yang dibelinya. Sebagai seorang ibu, ia yakin jika Anak Gadis akan menyukainya.

***

Batu yang Menangis—Sang kuasa memiliki segalanya, tentang seluruh rasa kondisi dan emosi setiap manusia. Begitu pula sang kuasa juga bijaksana pada hujan, terkadang membiarkannya jatuh ke muka bumi dengan irama dan suasana yang biasa. Mendung, rintik-rintik kemudian turunlah titik-titik air secara bersamaan, lalu mereka berhenti dan pergi. Ya, begitulah biasanya.

Namun terkadang hujan juga disertai badai, banjir dan sedikit gelombang tinggi. Maka jangan sekalipun kita beranggapan bahwa sang kuasa tertidur, sekalipun ia tidak pernah melakukannya. Dia selalu melihat dengan kuasanya dan mengizinkan takdir untuk segera terjadi atau tertunda untuk beberapa saat kemudian.

Keburukan yang diberikan akan selalu pulang pada keburukan dan kebaikan yang diberikan akan kembali pada kebaikannya pula. Ketika manusia memiliki kecurangan maka sang kuasa siap dengan keadilan.

***

Anak Gadis menghampiri ibunya yang sedang memilih biji-biji sayuran yang hendak ditanam di ladangnya.

“Bu, aku ingin sesuatu hari ini,” ucap Anak Gadis yang menghampiri ibunya. Ia merengek tentang keinginannya.

“Apa itu, anakku?” tanya sang ibu yang sejenak menghentikan pekerjaannya.

“Aku ingin membeli baju baru, Bu.” Anak Gadis menginginkan baju baru. “Pokoknya aku ingin hari ini tanpa banyak alasan.”

“Wahai anakku, hari ini ibumu tidak akan pergi ke pasar.” Ibunya menjelaskan, ”dapatkah engkau pergi sendiri?”

Anak Gadis langsung berdiri dan berkacak pinggang, “Aku tidak ingin pergi sendiri dan aku harus mendapatkan baju baru itu hari ini juga!” sekali lagi Anak Gadis ingin dipenuhi keinginannya.
“Baiklah, anakku,” ucap sang ibu yang segera berdiri. ”Kita akan berangkat sebentar lagi.”

Sang ibu segera berlalu menuju ke dapur untuk menyimpan pekerjaannya, mungkin saja ia akan lanjutkan nanti malam supaya besok ia bisa menanamnya. Sedangkan Anak Gadis segera berlari menuju kamar untuk segera bersiap, ia membutuhkan banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Ya, semuanya demi tampilan yang dianggap akan menyempurnakan penampilannya.

Sang ibu sudah siap dengan tampilan seadanya, ia menganggap bahwa dirinya sudah siap dengan tampilan untuk pergi ke pasar. Lagi-lagi ia tidak merasa bahwa berpakaian tidak harus berlebih-lebihan. Ya, pelajaran dari orangtuanya telah ia lakukan dengan baik sampai hari ini, akan tetapi hal itu tidak diikuti oleh anaknya sendiri. Meski telah berulangkali dan dengan menggunakan berbagai cara, namun tetap saja itu tidak mempan kepada Anak Gadis yang lebih suka berdandan sesuka hatinya.

“Ayo, kita pergi sekarang, Bu!” seru Anak Gadis kepada ibunya yang sudah menunggu sejak lama.

“Iya, ayo.” Ibunya menjawab sembari segera meraih sandalnya. Ya, bahkan ia tidak sempat membeli sandal baru karena hampir seluruh penghasilannya hanya untuk kebutuhan makan dan kebutuhan Anak Gadis.

“Ibu!” seru Anak Gadis yang berjalan di samping ibunya.

“Ada apa, nak?” tanya sang ibu yang sedang berjalan, ia berkonsentrasi dengan kontur jalan yang masih beralaskan tanah.

“Nanti ketika di pasar aku ingin kita jalan berjauhan,” jawab Anak Gadis. “Maksudku adalah Ibu tidak berjalan di sampingku.”

“Kenapa engkau tidak ingin berjalan bersama Ibu, anakku?” tanya sang ibu yang merasa heran sendiri dengan permintaan ibunya. Meskipun tanpa mengetahui jawabannya, sang ibu sudah merasa sakit hati dengan ucapan anaknya sendiri.

“Karena ibu berpakaian dekil dan penampilan ibu,” jawab Anak Gadis yang terus memperhatikan pakaian dan dandanan ibunya. “intinya aku tidak ingin berjalan bersama dengan ibu. Apa kata nanti orang-orang di pasar sana.”

Baca Juga : Kisah Timun Mas

Mendengar perkataan itu maka sang ibu merasa lebih sakit hati, meskipun perasaan itu hanya mampu ia pendam seorang diri. Ia tidak ingin mengungkapkannya di hadapan Anak Gadis karena itu akan sia-sia, tak akan ada yang didengarkannya kecuali jika keinginannya akan disanggupi oleh sang ibu.
“Baiklah, anakku. Ibu mengerti maksudmu.” Sang ibu memahami maksud anaknya yang tidak ingin berjalan bersama. Ya, ia akan merasa malu jika berjalan bersama ibunya sendiri. Sungguh memalukan.

Mereka berdua terus berjalan menuruni perbukitan menuju pasar desa. Ya, pasar desa tepat berada di bawah bukit yang tepat berada di lerengnya. Tempat tinggalnya yang berada cukup jauh dari keramaian membuat mereka berdua tidak begitu dikenal oleh masyarakat lainnya. Ya, sebab mereka bukan pula dari golongan berada atau seorang juragan kaya seperti yang lainnya. Akan tetapi keadaan itu tidak lagi menjadi soal bagi ibu yang sudah berusia lanjut itu.

Tak berapa lama kemudian sampailah mereka di pasar desa yang sudah ramai oleh kegiatan jual beli. Tampak para penjual tengah sibuk menawarkan jualannya, sebagian tengah sibuk melayani para pembeli yang mendatangi lapaknya. Sang ibu tidak menyadari jika dirinya masih berjalan di samping anaknya. Sehingga Anak Gadis segera mengingatkannya.

“Ibu, apakah engkau tidak ingat?” tanya Anak Gadis dengan wajah yang merah menahan amarah.

“Ibu jangan berjalan di sampingku, nanti orang lain akan melihatnya dan aku akan malu!”

Anak Gadis segera berjalan di depan setelah berjalan lebih cepat daripada ibunya. Ya, sekali lagi Anak Gadis telah menyakiti hati seorang ibu. Sedangkan sang ibu hanya terdiam dan menggelengkan kepalanya sebagai tanda kecewa, ia merasa tak habis pikir dengan sikap anaknya yang tidak ingin berjalan bersama ibunya sendiri. Akhirnya ia kembali berjalan di belakang Anak Gadis dengan pelan sehingga terdapat jarak yang lumayan jauh diantara keduanya.

Terlihat di depan sana jika terdapat sekumpulan pemuda yang melihat Anak Gadis dengan tanpa berkedip. Ya, mereka terpenjara oleh kecantikan Anak Gadis yang langka untuk ditemukan. Tentusaja membuat Anak Gadis begitu tersipu mendengar pujian yang disampaikan langsung kepadanya.
“Wahai Nona cantik, hendak kemanakah engkau pergi?” tanya seorang pemuda yang sedang berdiri bersama kawan-kawannya.

“Aku hendak ke lapak penjual pakaian,” jawab Anak Gadis yang terkejut mendengar seseorang menyapanya.

“Bolehkah saya menemanimu, Nona?” tanya pemuda itu lagi. “Dan siapakah orangtua yang ada di belakangmu itu, Nona?”

“Aku bisa berjalan sendiri, kamu harus tahu jika ibu tua yang ada di belakangku itu adalah pembantu di rumahku.” Anak Gadis segera pergi meninggalkan pemuda yang terlihat kebingungan melihat tingkahnya seperti sedang marah.

Sang ibu mendengar apa yang dikatakan anaknya, tentusaja itu menyakitkan di hatinya yang juga hanya manusia biasa. Ibu mana yang tidak sakit hati mendengar anak sendiri tidak menganggap ibu kandungnya, apalah arti pengorbanan sang ibu selama ini untuk membuat anaknya tetap tumbuh dan beranjak dewasa hingga sekarang, terasa tidak berguna. Akan tetapi sang ibu tetap melanjutkan perjalanannya menuju lapak penjual pakaian. Kemudian ia kembali berhenti lagi karena anaknya sedang berbicara dengan seorang pemuda lain yang menghampiri.

“Wahai Nona cantik, engkau sungguh cantik sekali.” Pemuda itu memuji kecantikan Anak Gadis yang memang jelita.

“Terima kasih, bolehkah saya diberi jalan sebab saya harus segera pergi,” ucap Anak Gadis yang ingin segera pergi dari para pemuda yang berkerumun di hadapannya.

Kemudia para pemuda itu memberi jalan kepada Anak Gadis, sang ibu juga ikut kembali berjalan.

“Wahai, Nona tunggu sebentar.” Seorang pemuda menghentikan langkah Anak Gadis.

“Iya, ada apa?” tanya Anak Gadis yang penasaran.

“Apakah ibu tua itu ibumu?” tanya pemuda itu lagi.

“Bukan, dia hanya pembantu di rumahku.” Lagi Anak Gadis menjawab pemuda itu dengan ketus dan tidak suka lalu pergi.

Tak ada kata yang terucap untuk sekedar membela diri, sang ibu hanya pergi tanpa kata. Ia tak kuasa menahan tangis yang perlahan keluar dari sudut matanya, ia menyeka dengan sudut pakaian yang dikenakan sambil terus berjalan.

Anak Gadis terus berjalan dan selalu dihentikan oleh para pemuda yang hanya ingin sekedar menyapanya. Kembali terdengar pertanyaan tentang ibunya, kemudian dijawab kembali oleh Anak Gadis bahwa ibu tua yang mengikutinya adalah pembantu yang bekerja di rumahnya.
Sang ibu tak kuasa lagi menahan tangisnya, ia tak bisa lagi berkata-kata hingga hatinya yang leluasa berkata.

 “Wahai sang penguasa di atas sana, engkau dapat melihat bagaimana anakku sendiri tak menganggap diriku sebagai ibu kandungnya. Aku sudah terlalu sakit hati, kini aku tak akan melarang jika engkau memang berkehendak. Apapun itu.”

Tak lagi ia melihat anaknya, Anak Gadis berjalan di depannya. Mungkin saja ia sudah pergi terlebih dahulu. Sang ibu merasa ragu untuk melanjutkan perjalanan. Entah mengapa. Akan tetapi ia mendengar teriakan di depan sana.

“Maafkan aku, Ibu!” teriak seseorang yang kemudian sang ibu segera mencari sumber suara. “Tolong aku! Tolong!”

Ternyata Anak Gadis sedang menangis dikerumuni banyak warga yang penasaran. Kakinya perlahan tidak bisa digerakkan dan perlahan pula seluruh tubuhnya keras dan membatu. Setelah sang ibu berusaha masuk ke dalam kerumunan yang sesak, maka ia sudah terlambat. Anaknya, Anak Gadis telah berubah menjadi manusia batu sampai di lehernya. Ia terus menangis dan berusaha memanggil ibunya, akan tetapi terlambatlah. Nasi telah lama menjadi bubur yang tak lagi hangat, penyesalan adalah hal yang terlambat untuk diperbaiki.

Baca Juga : Kisah Malin Kundang

Seorang anak durhaka yang cantik jelita bernama Anak Gadis, ia menjadi batu dan terlihat seperti selalu menangis sehingga tersebutlah batu menangis. Tak lama setelah itu, batu yang terbujur kaku akhirnya dipindahkan oleh warga ke sebuah tebing dan dibiarkan sampai saat ini. Tak ada yang mau menyimpannya atau bahkan peduli dengan batu menangis itu. Kecantikannya hilang seketika bersama terkutuknya ia menjadi manusia durhaka, manusia batu. batu menangis.

***
Selesai

Pesan moral yang dapat diambil adalah kita harus ingat bahwa tidak akan pernah ada kebaikan jika kita durhaka kepada orangtua. Mereka diagungkan oleh sang maha kuasa, maka jangan pernah membuat mereka kecewa. Mereka seolah punya mantra mujarab. Percayalah.

Kesimpulan: Artikel/cerita rakyat ini bertujuan untuk menyampaikan pesan kebaikan tentang perilaku untuk menghormati kedua orangtua, terutama kepada ibu. Ibu adalah manusia istimewa menurut Tuhan dan menurut orang-orang yang menyayangi ibunya.

Desiana P



Belum ada Komentar untuk "Cerita Rakyat Batu Menangis Kisah Legenda asal Kalimantan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel