Cerita Malin Kundang Anak Durhaka dikutuk jadi Batu oleh doa Ibunya

Cerita Rakyat : Anak Durhaka Itu Bernama Malin Kundang

Kehidupan Desa—Pesisir pantai selalu menjanjikan harapan bagi setiap orang yang menunggu di tepian. Atau bahkan menumbangkan harapan yang sempat berdiri dengan tegak, menatap langit biru. Tak juga manusia menjadi berkecil hati, kehidupan akan selalu berputar dan silih berganti. Hanya usaha dan percobaan sampai memberikan hasil, entah sedih atau bahagia, tapi mereka setidaknya pernah mencoba.

Pesisir sumatera yang indah namun tidak serupa dengan hidup para penghuninya, terkadang mereka sangat kenyang sepanjang hari atau bahkan menahan lapar seharian. Ya, mereka bergantung pada laut yang terkadang tidak memahami makna penderitaan manusia. Sehingga mereka mengambil jalan lain untuk mendapatkan satu suapan hidup yang lebih baik.

Selamat datang di desa pesisir. Dimana hidup juga berjalan seperti panasnya pasir di teras lautan. Wajah-wajah lelah habis menangkap ikan atau terkantuk-kantuk karena memperbaiki jaring yang bolong diserang ikan besar. Mereka hilir mudik melakukan hal yang sama setiap hari, minggu dan berbulan-bulan berikutnya. Kemudian kesulitan pun mendera, lautan sedang tidak berbaik hati untuk mengeluarkan ikan-ikan dari dalam perut luasnya. Sehingga para nelayan harus mengurungkan niat lebih lama untuk melaut. Hal itu juga menimpa keluarga nelayan yang kehidupannya semakin rumit karena sudah lama tidak pergi melaut. Mereka adalah keluarga Malin Kundang.
Gambar : Youtube

Ayah Malin dengan berat hati memutuskan untuk pergi merantau ke kota seberang, melintasi lautan. Bukan untuk suatu tujuan yang kecil, melainkan untuk mengubah nasib keluarganya yang mungkinsaja akan semakin miskin beberapa waktu lagi.

“Ibu!” seru ayah Malin yang masuk ke dalam rumah dengan wajah yang lesu.
“Iya, ada apa, Pak?” jawab ibu Malin yang segera menghampiri, tak lupa ia membawa segelas air untuk suaminya yang baru pulang melaut.

“Bapak tidak dapat apa-apa hari ini, Bu,” ujar ayah Malin yang kemudian segera meminum air yang disodorkan istrinya.

“Ya, sudah, Pak.” Ibu Malin berusaha menenangkan. ”Laut mungkin memang sedang marah pada kita, hingga ia tak sudi memberi kita bahkan hanya seekor ikan.”

“Bapak mau pergi ke kota, Bu.” Ayah Malin dengan tegar memberikan keputusan. “Kita harus tetap makan, itu tidak bisa ditawar.”

Ya, memang benar makan menjadi salah satu kebutuhan yang tak bisa banyak ditawar. Mengingat kondisi saat ini, lautan tidak bisa lagi diandalkan untuk beberapa waktu yang belum bisa dipastikan. Ibu Malin juga menyadari hal itu dan langsung mengerti akan maksud suaminya yang hendak pergi merantau.

“Kapan Bapak akan berangkat?” tanya ibu Malin yang segera mengerti kondisi suaminya.

“Mungkin besok, Bu.” Ayah Malin menjawab dengan lesu.

“Ya, sudah. Nanti malam Ibu akan siapkan segala keperluan Bapak, ya.” Ibu Malin kembali mencoba untuk menenangkan suaminya. “Bapak hanya perlu berdoa untuk kami di sini. Maka sang maha kuasa akan melindungi Ibu dan Malin.”

“Baiklah, Bu. Bapak merasa tenang mendengarnya.” Ayah Malin kemudian merasa lebih tenang mendengar perkataan istrinya yang rela ditinggal untuk waktu yang belum ditentukan.

Hari yang direncanakan pun tiba. Ayah Malin segera masuk ke dalam kapal penumpang yang akan membawanya ke negeri rantau. Ibu dan malin Kundang hanya menatap di dermaga, mereka akan berpisah untuk waktu yang belum dtentukan.

Kemudian kapal melaju setelah waktu berangkat sudah tepat. Terlihat oleh mereka berdua, ayah Malin semakin jauh, jauh perlahan dan seolah tenggelam oleh lautan. Kini mereka benar-benar terpisah. Malin kecil segera bertanya pada ibunya.

“Ibu, Bapak mau pergi kemana?” tanya Malin polos.

Ibu Malin segera menggandeng tangan anaknya, “Bapak mau mencari uang yang banyak, supaya kita tidak hidup susah lagi, Malin.”

“Benarkah itu, Ibu?” tanya Malin yang kaget sekaligus bahagia mendengar perkataan ibunya. “Lalu kapan Bapak akan pulang?”

Ibu Malin tersenyum, “Tentusaja sebentar lagi kita bisa menjemputnya ke tempat ini, anakku.”
Mendengar hal itu maka Malin Kundang berjingkrak-jingkrak bahagia. Ayahnya akan membawa banyak uang supaya hidup mereka menjadi nyaman dan terjauh dari segala kesulitan hidup.

***

Hari demi hari kehidupan dilanjutkan oleh Malin dan ibunya. Selalu ia panjatkan doa setiap hari untuk suami yang jauh diperantauan. Memohon kesehatan dan keselamatan, juga berharap diberikan kelancaran dalam mencari rezeki di negeri orang. Hampir doa yang sama selalu dipanjatkan ibu Malin tanpa henti dan tanpa sedikitpun rasa bosan.

Minggu sudah berganti bulan pertama, setidaknya harapan kembali muncul. Ibu Malin berharap suaminya akan segera pulang. Berkali-kali dalam seminggu pertama Malin Kundang selalu berlari menuju dermaga, berharap ayahnya menjadi salah satu penumpang dari sekian banyaknya kapal yang berlabuh di dermaga. Akan tetapi Malin selalu pulang dengan wajah yang tertunduk lesu kemudian berkata.

“Bapak belum pulang juga, Bu.” Malin segera masuk menghampiri ibunya yang sedang menyalakan tungku di dapur.

Kemudian ibu Malin langsung memeluk anak kesayangannya, “Sabar anakku, Bapak masih bisa pulang esok hari.”

Seluruh bulan sudah tergenapi dengan sempurna, akan tetapi belum juga ada sedikitpun kabar tentang ayah Malin Kundang. Kini ibu Malin mulai gusar, khawatir dengan keadaan suaminya yang tak juga memberi kabar. Kemudian berkali-kali pula ibu Malin meminta kepada sang kuasa supaya suaminya bisa pulang, meskipun dengan keadaan yang bahkan tidak terduga sekalipun. Meski ia berharap suaminya akan pulang dengan keadaan yang selamat.

Malin Kundang juga tidak lagi berlari menuju dermaga, ia sudah memahami jika ayahnya akan kembali ke rumah tanpa perlu memerlukan sebuah jemputan dari dermaga. Apalagi ibunya sudah berulangkali mengingatkan bahwa ayah Malin akan pulang suatu hari.
Kemudian tahun ke tahun berlalu begitu cepat seperti tanpa jeda. Begitu pula memudarkan semua harapan Malin Kundang dan ibunya untuk menunggu kepulangan seorang suami sekaligus ayah bagi mereka berdua.

Mereka harus melanjutkan hidup, dimana ibu Malin bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua. Tak ada cara lain untuk tetap hidup di desanya selain dengan bekerja keras meski dengan upah yang sangat kecil. Namun apa boleh dikata, semua orang bahkan para juragan kaya sekalipun masih berada dalam kondisi ekonomi yang tidak baik. Ibu Malin sedari pagi pergi ke kebun, sedangkan Malin belajar menjaga rumah sebab ia belum cukup umur untuk ikut bekerja di ladang pertanian. Akan tetapi Malin sesekali pergi ke dekat dermaga untuk memancing ikan atau mencari ikan kecil di kapal-kapal nelayan yang baru berlabuh.

Malin Kundang dan ibunya hanya memiliki sang kuasa sebagai satu-satunya tempat berlindung dari segala kesulitan hidup yang mereka rasakan. Tak ada lagi sosok pemimpin di dalam keluarga mereka, pemimpin mereka seolah pergi tanpa pamit lalu menghilang tanpa jejak.

Sesekali ibu Malin tengah duduk termangu di dermaga, melihat lautan yang tenang menuju sore. Ia merasa laut telah menyakitinya dengan tidak pernah mengembalikan suaminya dengan kabar yang selamat. Bahkan secarik surat belum pernah ia terima. Terkadang ibu Malin menangis meratapi nasib hidup yang digariskan padanya, ia merasa sangat rapuh tanpa seorang pendukung seperti suaminya. Kemudian berulangkali Malin Kundang menjemput ibunya saat hari sudah mulai gelap.

“Kenapa Ibu tidak pulang sedari tadi?” tanya Malin Kundang di sela-sela perjalanan.

“Ibu hanya ingin duduk istirahat dari pekerjaan, duduk di tepi dermaga itu menenangkan Malin.” Berkali-kali hanya jawaban yang didengar Malin Kundang dari mulut ibunya.

“Ibu, apa Bapak akan pulang ke rumah?” tanya Malin penasaran.

Tak ada jawaban dari ibunya, mungkin tak ada lagi kata-kata penuh harapan yang bisa diberikan kepada anaknya, Malin Kundang.

Kemudian hari berlalu berganti malam yang pekat tanpa sebutir bintang bercahaya di langit.

***

Malin Kundang Merantau—Setelah ayah Malin Kundang yang tidak pernah kembali ke desa pesisir bertahun-tahun yang lalu. Maka anak kecil yang bernama Malin Kundang tumbuh menjadi anak remaja yang sudah bisa diandalkan ibunya. Ia tumbuh dengan kasih sayang ibu yang tetap giat bekerja, sesekali Malin juga ikut membantu ibunya sehingga mempercepat waktu kerja dan segera mendapatkan upah kerja yang lumayan.

Perekonomian desa pesisir sudah cukup berkembang jika dibanding tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya mereka berdua tidak lagi merasa kelaparan dan persediaan makanan selalu cukup di dalam lemari makanan yang mulai lapuk dimakan usia. Akan tetapi muncullah suatu keinginan Malin Kundang pada suatu hari.

“Apakah Ibu akan memberi izin jika aku ingin pergi merantau?” tanya Malin Kundang yang duduk di lantai. Sedangkan ibunya tengah melipat pakaian.

Seketika ibu Malin berhenti melipat pakaiannya, “Ibu tidak mengizinkanmu, Nak. Ibu tidak ingin kamu bernasib sama seperti Bapakmu.”

Berkali-kali Malin Kundang berusaha meminta izin merantau kepada ibunya, ia berniat untuk mengubah kehidupan keluarga mereka. Malin Kundang bersikeras meminta hampir setiap hari. Sehingga ibu Malin mengizinkan ia untuk merantau seperti ayahnya melintasi lautan.

“Pergilah, Nak.” Ibu Malin akhirnya mengizinkan.”Tapi jangan sampai kamu tidak kembali dan melupakan ibumu yang mungkin kelak sudah sangat tua dan pikun.”

“Tentusaja aku akan kembali, Bu.” Malin Kundang menjawab dengan percaya diri di hadapan ibunya.
Semalaman Malin Kundang dibantu ibunya untuk menyiapkan beberapa pakaian dan perbekalan yang akan berguna selama di perjalanan. Kemudian Malin Kundang segera tidur di kamarnya dengan suasana yang bahagia, sebab besok adalah hari untuk sebuah perjalanannya menuju pengubahan nasib yang lebih baik.

***

Malin Kundang sudah menaiki kapal penumpang beberapa waktu yang lalu. Ia menatap ibunya yang masih bisa ia lihat sedang beridir di dermaga sembari melambaikan tangan padanya. Malin Kundang berjanji pada dirinya sendiri, ia akan cepat pulang dengan membawa kabar berita yang menyenangkan. Tentusaja untuk membahagiakan ibunya tercinta yang mulai sepuh usianya. Ya, ibunya terlau lelah bekerja demi membuatnya tetap hidup sampai pada hari dimana ia meninggalkan desa pesisir menuju perantauan. Kapal semakin menjauh dan membuat desa pesisir sudah tidak lagi terlihat dari kejauhan. Kemudian Malin Kundang segera masuk ke dalam ruangan penumpang, menempati kursi penumpang bersama orang-orang yang memiliki tujuan yang sama, yakni pergi ke perantauan. Ketika masih di dalam perjalanan menuju tepian perantauan, tiba-tiba kapal yang ditumpangi Malin Kundang berhenti melaju. Terdengar suara teriakan dari luar geladak.

“Bajak laut!!” teriak beberapa orang. Kemudian semua orang yang berada di dalam ruangan penumpang mendadak riuh dan berusaha keluar dari dalam ruangan. Akan tetapi Malin Kundang memilih untuk diam dan bersembunyi di dalam sebuah kotak besar, ia diam sambil memeluk bekal dan pakaian yang dibawanya dari rumah. Malin masih bisa melihat semua kejadian yang sedang berkecamuk di luar sana melalui lubang kecil.

Ya, kotak persembunyiannya sudah lapuk dan bolong dimana-mana. Malin Kundang menutup telinganya kuat-kuat saat banyak warga-warga yang tidak berdosa harus kehilangan nyawa di tangan para penjahat. Ya, rupanya mereka ingin merampas harta milik setiap warga, akan tetapi semua orang melawan sehingga nyawa menjadi taruhannya.

Beberapa waktu berlalu setelah semua penumpang kapal akhirnya tergeletak di lantai kapal. Beberapa dari mereka bahkan bersimbah darah, sehingga bau amis menguar di seluruh sudut kapal. Para pembajak laut telah pergi sambil membawa harta benda yang mereka rampas dengan kejam.

Malin Kundang segera keluar dari persembunyiannya, ia baru menyadari jika Malin adalah satu-satunya penumpang yang masih hidup. Kemudian ia tidak mengetahui arah kapal yang melaju ke arah yang tak menentu. Sehingga Malin Kundang terombang-ambing di lautan, perahu yang ditumpanginya hanya berlayar menggunakan arah angin tak tentu arah. Berhari-hari dari pagi yang berganti malam secara berulang-ulang.

Malin Kundang harus menghadapi badai laut yang ada di depan matanya seorang diri, ia tidak bisa mengendalikan perahu supaya menghindar dari terjangan badai. Sehingga Malin Kundang dikepung badai yang berkecamuk di tengah lautan seorang diri. Kesadarannya menghilang setelah air laut dengan keras menghantam kepalanya, namun berkali-kali ia meminta kepada sang kuasa supaya hidupnya masih bisa terselamatkan bagaimanapun caranya.

“Anak muda, bangunlah! Bangun!” seru seseorang yang seakan membangunkan Malin Kundang dari sebuah mimpi menyeramkan.

“Aku ada dimana?” tanya Malin Kundang yang akhirnya sadar sepenuhnya.

 “Kamu terdampar di tepi pantai, Anak muda!” jawab seseorang yang lain. 

Ternyata Malin Kundang dikelilingi oleh banyak orang. Barulah ia mengetahui jika kapal yang ditumpanginya hancur karena terjangan badai dan terdampar di tepi pantai. Ia akhirnya dibawa warga ke bale desa untuk mendapatkan bantuan, kemudian menjelaskan kejadian menyeramkan yang menimpa Malin sebelum  akhirnya terdampar sendirian. Seluruh warga desa yang hadir di bale, akhirnya setuju jika Malin Kundang tinggal di desa mereka, asal ia mampu memenuhi syarat akan memiliki kelakuan yang baik untuk tinggal di sana. Maka sebagai langkah awal yang baik, ia memutuskan untuk bekerja pada seorang juragan sayur yang terkenal di desanya. Bekerja dengan baik dan jujur menjadi modal utama yang selalu dijadikan dasar pada setiap pekerjaannya.

Beberapa waktu kemudian akhirnya Malin Kundang resmi diterima sebagai penduduk baru di desa yang makmur dengan hasil pertanian itu. Ya, ia rajin bekerja kepada para juragan sayur dan tidak pernah tercatat sebagai orang yang melakukan tindak kejahatan. Malin Kundang merasa jika hidupnya kini mulai kembali tertata dengan cukup baik, setidaknya ia memiliki rumah dan penghasilan sendiri dari pekerjaannya. Tak lupa ia juga menabung di dalam celengan miliknya, suatu hari ia akan pergunakan untuk melanjutkan hidupnya menjadi lebih baik.

Baca juga : Kumpulan Cerita Rakyat Untuk Anak

***

Dia Anak Durhaka—Malin Kundang akhirnya berhasil menjadi seorang warga yang sukses dalam bidang perdagangan. Bahkan ia menjadi salah satu saudagar muda yang perlahan terkenal di desanya sendiri. Tak hanya itu, Malin Kundang mempekerjakan banyak sekali pegawai dan petani yang diberi upah wajar sesuai pekerjaannya. Sehingga ia dikenal dengan kebijaksanaannya dalam berdagang. Perlahan namun pasti, Malin Kundang semakin memperoleh banyak keuntungan yang akan membuatnya menjadi seorang saudagar yan sukses.

Suatu hari ia bertemu dengan seorang gadis cantik di perjalanan menuju dermaga. Ya, Malin Kundang hendak menjual berbagai macam sayuran ke kota seberang. Akan tetapi ia harus berhenti sejenak untuk berkenalan dengan gadis yang barusaja ditemuinya.

“Wahai nona cantik, dapatkah hamba mengetahui darimana asalmu?” tanya Malin Kundang dengan sopan, sehingga gadis itu merasa tersipu dengan sikapnya yang baik.

“Saya adalah seorang putri dari kota seberang.” Gadis itu menjelaskan asal dan statusnya.

“Sebuah kehormatan yang sangat tinggi, ketika hamba bisa bertemu dengan seorang putri kerajaan.” Malin Kundang kembali berkata dengan sangat sopan. “Dapatkah saya membawa nona berkeliling di desa ini?”

Gadis cantik itu kembali tersipu sambil tersenyum, “Baiklah, tentusaja anda dapat menemani saya yang tidak mengetahui daerah ini.”

Pertemuan itulah sebagai awal yang akhirnya membawa keinginan Malin Kundang untuk menikahi gadis pujaannya. Ya, Malin Kundang menikah dengan seorang putri dari kerajaan terkenal di negeri sebrang. Sehingga ia berusaha menutupi identitas dan masa-masa sulit yang kini dianggapnya sebagai sesuatu yang hina dan tidak layak.

Malin Kundang membawa serta istrinya ke desa dimana ia terkenal sebagai juragan muda yang sukses. Apalagi saat ini ia memiliki banyak kapal-kapal yang berlabuh di dermaga. Semuanya berukuran sangat besar dan selalu digunakan untuk mengirimkan hasil pertanian ke kota seberang. Kemudian Malin Kundang mendapatkan satu hadiah dari mertuanya yakni sebuah kapal yang digunakan untuk berlayar bersama istri tercinta. Hadiah itu diberikan sebagai kado pernikahan kepada Malin Kundang dan istrinya.

***

Kemudian suatu malam istri Malin Kundang bicara kepadanya.

“Malin Suamiku, bukankah besok sampai lusa engkau tidak pergi berdagang?” tanya istri Malin yang memberikan secangkir minuman ke hadapannya.

“Iya, istriku. Besok aku tidak akan pergi berdagang.” Malin Kundang menjawab sembari mengambil minuman yang disediakan istrinya. “Ada apa engkau menanyakan hal itu?”

“Aku hanya ingin pergi berlayar bersamamu ke suatu tempat yang indah.” Akhirnya istri Malin mengutarakan keinginannya.

“Kemanakah itu, istriku?” tanya Malin yang merasa tertarik dengan keinginannya.

“Letaknya cukup jauh, akan tetapi di sana aku memiliki seorang kerabat. Ia menjadi seorang saudagar yang terkaya di daerahnya.” Istri Malin Kundang menjelaskan maksud tentang keinginannya.

“Baiklah, besok kita akan berlayar Istriku.” Malin Kundang menyetujui keinginan istrinya untuk berlayar.

“Terima kasih, suamiku. Aku akan segera menyiapkan pakaian untuk esok hari.” Istri Malin Kundang berkata sambil segera berlalu dari hadapannya. Ia segera menuju kamar untuk menyiapkan keperluannya esok hari.

Hari baru telah tiba dan sudah sejak pagi Malin Kundang dan istrinya melakukan perjalanan dengan perahu pemberian mertuanya yang baik hati. Mereka ditemani oleh beberapa pelayan dan seorang nakhoda kepercayaan Malin Kundang. Waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan memang sangat jauh, apalagi kerabat istri Malin Kundang adalah orang yang paling disayangi istrinya.

Sehingga istri Malin rela melakukan perjalanan panjang demi bisa bertemu dengan kerabat jauhnya itu. Sejenak Malin Kundang jadi ingat masa dimana ia hampir terbunuh oleh bajak laut yang jahat di masa lalu. Juga ia menjadi ingat kepada ibunya yang telah lama tidak ditemuinya selama ini. Ternyata istri Malin tertidur pulas karena lamanya perjalanan sehingga Malin pun ikut tertidur karena merasakan hal yang sama seperti istrinya.

Kapal berlayar terus ke depan tanpa sekalipun rintangan menghadang. Menuju sebuah tempat yang sudah dijanjikan takdir pada setiap manusia. Tak ada yang bisa menolak keputusan takdir. Mau tidak mau, pada akhirnya setiap orang akan kembali pada jalan takdirnya sendiri, meskipun ia berkali-kali mencoba untuk menghindar menjauhi.

***

Di sebuah desa terpencil yang penghuninya telah kembali merasakan kemurahan dan kebaikan laut, ikan telah kembali berjumlah banyak sehingga para nelayan tidak lagi merenungi nasibnya di pagi hari. Semua orang bersuka cita dan bersorak-sorak gembira saat kapal-kapal nelayan melabuhkan kapalnya di dermaga, kemudian menurunkan hasil tangkapan dalam peti-peti yang penuh sesak oleh ikan komoditas.

Akan tetapi kedukaan seseorang belum berakhir, meskipun ia tahu bahwa para nelayan sudah bisa kembali merasakan sebuah kejayaannya seperti sedia kala. Ia hanya sering termangu seorang diri di tepi dermaga yang ramai, seperti sedang menunggu seseorang yang hendak datang dari tempat jauh. Kemudian ia kembali ke gubuk tuanya yang semakin rapuh dimakan usia, kiranya nestapa hidup yang tidak berhenti menggerogoti usia dan tiang-tiang gubuknya. Melewati malam seorang diri selama bertahun-tahun lamanya. Dialah ibu Malin Kundang yang sudah semakin tua dan sepuh. Akan tetapi ia masih mengingat suaminya yang telah lama tidak kembali, kemudian anaknya Malin Kundang juga tidak pernah kembali pulang.

Berkali-kali dalam tangisnya ibu Malin selalu berharap anak satu-satunya dapat kembali dengan selamat, betapa rindunya seorang ibu pada anaknya yang lama tidak berjumpa. Ia akan sangat hafal anaknya, Malin Kundang yang memiliki bekas luka di lengannya. Tentusaja itu akibat sikap tidak hati-hatinya sewaktu masih kecil di pekarangan rumahnya dahulu.

Seperti biasa ibu Malin akan segera pulang jika hari telah benar-benar menjelang malam, kemudian beberapa orang dilewatinya di perjalanan.

“Mak Malin, tunggu dulu!” teriak seseorang dari belakang.

“Ada apa?” tanya Ibu Malin yang segera berhenti dan berbalik badan.Kemudian seseorang menghampirinya.

“Besok, Mak Malin harus pergi ke dermaga pagi hari. Sebab ada saudagar kaya yang akan datang ke desa kita.”

“Benarkah itu?” tanya Ibu Malin kembali memastikan.

“Iya, Mak. Besok saya akan pergi sama-sama dengan Mak Malin jika ingin datang ke dermaga,” jawab seseorang yang merupakan tetangganya.

“Baiklah, aku akan ikut juga.” Akhirnya ibu Malin bersedia untuk melihat saudagar itu ke dermaga. Ia merasa butuh sedikit hiburan setelah sekian lama hanya meratapi nasibnya. Ya, ibu Malin Kundang kini hidup sebatang kara.

Baca Juga : Dongeng Anak Usia SD
***

Kabar tentang kedatangan saudagar kaya dari kota seberang telah tersebar luas hingga ke pelosok desa. Ya, saudagar itu adalah kerabat juragan kaya di desa pesisir. Juragan kaya itu juga mempersiapkan segala kebutuhan di rumahnya untuk mengadakan sambutan kepada tamu yang akan datang ke rumahnya.

Semua penduduk telah berkumpul di tepi dermaga, ada yang duduk dan ada pula yang berdiri menunggu kapal istimewa yang akan berlabuh di dermaga. Tak berselang lama maka datanglah kapal yang sudah ditunggu semua orang. Ya, sebuah kapal yang indah dan belum pernah mereka melihat kapal yang indah berlabuh di dermaga. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Tak tertinggal ibu Malin juga sudah berdiri di barisan terdepan. Ya, mereka menghormati orang tua supaya tidak berdesakan seperti yang lainnya.

Kemudian keluarlah sepasang suami istri yang mereka anggap sebagai saudagar itu, terlihat dari pakaian yang dikenakannya. Mereka berdua berjalan melewati penduduk yang menyambutnya dengan suka cita, kemudian diikuti oleh rombongan di belakangnya.

Ada jantung yang berdetak lebih cepat saat rombongan sedang berjalan semakin mendekat. Ya, dialah ibu Malin yang sangat yakin bahwa saudagar kaya itu adalah anaknya. Kemudian rombongan telah semakin menjauh menuju rumah saudaranya. Diikuti oleh semua warga yang mengikutinya. Sedangkan ibu Malin hanya termangu sendiri di dermaga, ia sangat yakin bahwa itu adalah anaknya Malin Kundang.

“Malin Kundang anakku!” seru Ibu Malin saat rombongan hendak kembali ke dalam kapal.

Ibu Malin memeluk anaknya yang telah lama ia rindukan bertahun-tahun lamanya. Ia semakin yakin dengan bekas luka yang dilihatnya persis seperti anaknya, Malin Kundang. Sementara orang yang dipeluk ibunya itu tidak berkata apa-apa, ia hanya diam seribu kata. Kemudian datang istri Malin yang terlambat di belakang sembari berkata.

“Siapa dia, suamiku?” tanya istri Malin yang merasa terkejut melihat suaminya dipeluk seorang nenek tua.

Malin Kundang terkejut hingga segera melepas pelukan dengan paksa, “Aku tidak tahu, istriku. Dia hanya perempua tua yang menganggap aku anaknya.”

“Tapi kau adalah anakku, Malin Kundang.” Ibu Malin kembali meyakinkan, “bahkan kau memiliki bekas luka yang masih sama.”

Malin Kundang merasa sudah naik pitam, ia bisa saja malu di hadapan istrinya sehingga tidak mengakui ibunya sendiri. “Aku ini bukan anakmu dan aku tidak memiliki ibu sepertimu,” ucapnya sembari mendorong Ibu Malin hingga terjatuh.

“Tentusaja tak mungkin bagimu, memiliki ibu seperti dia.” Istrinya segera menarik lengan suaminya, Malin Kundang.

Akhirnya Malin Kundang dan istrinya hendak naik ke dalam kapalnya, sedangkan Ibu Malin dibantu warga untuk segera bangun dari jatuhnya.

“Mari, Mak saya bantu,” ujar seorang tetangga.

Belum juga ia menyetujui tawaran tetangganya, ibu Malin segera menengadahkan kedua tangannya sambil berkata.

“Wahai yang maha Kuasa, anakku Malin Kundang tak ingin mengakui hamba sebagai seorang ibu yang melahirkannya,” ujar ibu Malin sambil menahan air mata. “Kiranya hatinya telah keras seperti batu. Maka aku meminta jadikanlah ia batu dengan kuasamu!”

“Mak, tak boleh berkata begitu." Tetangganya segera membantu ibu Malin untuk kembali berdiri kemudian mengajaknya pulang.

Tiba-tiba petir menggelegar sehingga membuat takut seluruh warga yang masih berada di dermaga. Maka semua orang termasuk ibu Malin segera pulang ke rumahnya masing-masing.

***

Malin Kundang dan istrinya sudah kembali berlayar, pergi dari tempat kelahirannya dengan mengecewakan ibunya yang telah tua namun tetap mengingatnya. Malin Kundang hendak kembali ke dermaga untuk meminta maaf kepada ibunya, namun tiba-tiba terjadi badai dan hujan mengguyur deras.

Tak berapa lama badai dahsyat terjadi, dimana kapal yang ditumpangi Malin diterjang badai yang berkecamuk hebat. Kemudian tak butuh lama bagi badai untuk menghancurkan kapal Malin Kundang menjadi kepingan-kepingan kapal yang hancur. Diceritakan setelah badai itu terjadi, reruntuhan kapal Malin sampai di dermaga desa pesisir sehingga warga dapat melihatnya. Kemudian terdapat kutukan hebat  yang pernah terdengar bahwa Malin Kundang bersimpuh ampun di tepi pantai bersama reruntuhan kapalnya, namun telah menjadi batu dan tidak bernyawa. Ya, Malin Kundang sudah menjadi anak durhaka yang diminta ibunya sendiri untuk dibinasakan karena kedurhakaan Malin Kundang.

Tak ada lagi kesempatan yang tersisa bagi Malin Kundang untuk meminta maaf, ia sudah terlambat. Ia menyadari jika ibu kandungnya telah tersakiti hatinya. Akan tetapi itu telah terlambat. Terlambat untuk sebuah pengampunan dari seorang keramat hidup yakni seorang ibu.

***
Selesai

Pesan Moral yang dapat kita ambil adalah jangan sekalipun menyakiti hati orangtua apalagi seorang ibu. Dia adalah keramat yang diagungkan sang maha kuasa, sehingga ibu adalah manusia yang sangat dekat dengan Tuhan. Percayalah!

Kesimpulan : Cerita ini bertujuan untuk menyampaikan kisah rakyat Malin Kundang, cerita ini layak untuk disimak berbagai kalangan supaya dapat mengambil pelajaran terbaik dari kisahnya.

Desiana P


Belum ada Komentar untuk "Cerita Malin Kundang Anak Durhaka dikutuk jadi Batu oleh doa Ibunya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel