Cerita dongeng Sangkuriang Legenda Tangkuban Perahu versi Lengkap
Cerita dongeng Sangkuriang Legenda Tangkuban Perahu salah satu cerita untuk anak yang memiliki pesan moral. Berkisah latar belakang terbentuknya danau bandung dan tiga gunung yaitu tangkuban perahu, burangrang dan bukit tunggul. Tokoh utama adalah Sangkuriang dan Dayang sumbi
Sangkuriang Kecil—Tanah sunda memiliki banyak keragaman budaya dan cerita. Seperti hendak mengabadikan sebuah kenangan yang sempat terjadi atau sengaja diciptakan. Ya, semuanya kembali pada kemampuan para leluhur dalam meracik kata dan mantra ajaib. Tak ayal semuanya menjadi kesatuan yang padu dan tinggal di masa lalu, kemudian selalu dikenang hari ini sebagai legenda dan benar-benar melegenda.
Seperti Sangkuriang yang pada akhirnya tidak merasa dirugikan oleh siapapun. Dia menjadi bagian sejarah dari sebuah peristiwa ajaib di jawa barat. Apa itu?
Pada masa itu Sangkuriang kecil berjalan tertatih di saat hujan turun begitu deras. Seakan dunia berkecamuk seperti keadaannya saat ini. Dia sudah diusir ibunya sendiri yang bernama Dayang Sumbi, akibat perbuatannya secara tidak sengaja membunuh anjing kesayangan ibunya yang bernama Tumang. Dayang Sumbi sangat marah dan mengusirnya setelah mendaratkan satu tamparan keras di pipi Sangkuriang. Ia segera berlari menjauh dan meninggalkan ibunya seorang diri.
Pada awalnya Dayang Sumbi dan Sangkuriang tinggal di dalam sebuah rumah yang cukup jauh dari jangkauan rumah-rumah penduduk. Ya, sebenarnya Dayang Sumbi bersembunyi dari pengawasan para pengawal ayahnya yang merupakan seorang raja di sebuah istana kerajaan. Dayang Sumbi adalah seorang putri raja yang tidak ingin tinggal di kerajaannya sendiri. Maka ia memilih untuk tinggal di daerah terpencil, jauh dari jangkauan ayahnya.
Sangkuriang berteduh di dalam sebuah gua tua, ia ingin menghindari hujan yang mengguyur sangat deras. Kini ia seorang diri tanpa seorang teman, apalagi berada di dalam hutan sama dengan menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Akan tetapi ia sudah memutuskan untuk tinggal di dalam hutan untuk waktu yang belum bisa dipastikan.
Kemudian ia tengah meratapi nasibnya yang tak menentu dan tanpa sengaja telah menyenggol sebuah wadah mirip tembikar tua yang ditutupi batu di atasnya, lalu terjatuh dan pecah. Sangkuriang sangat keget apalagi ada suara yang berbicara padanya.
“Wahai Sangkuriang!” seru sebuah suara yang entah berasal dari mana dan suara itu mengetahui namanya, Sangkuriang.
“Siapa engkau, kenapa engkau mengetahui namaku?” tanya Sangkuriang yang segera menebarkan pandangannya ke seluruh sudut gua yang gelap. Ia bingung.
“Kau telah menyelamatkanku dari penjara tembikar itu untuk waktu yang telah lama.” Akhirnya suara itu menjawab, ternyata suara itu berasal dari sesuatu yang ada di dalam tembikar yang tidak sengaja Sangkuriang pecahkan beberapa saat yang lalu.
“Aku tidak benar-benar menyelamatkanmu. Jadi berterimakasihlah kepada yang maha kuasa saja,” saran Sangkuriang.
“Tentu saja aku sudah melakukannya, Sangkuriang. Kini sebagai tanda terima kasih, maka aku akan memberimu ajian kesaktian yang akan melindungi hidupmu dari marabahaya, kau akan menjadi manusia kuat, Sangkuriang.” Suara itu hendak memberikan sebuah kekuatan pada Sangkuriang sebagai tanda terima kasih padanya.
“Baiklah, aku akan menerimanya,” ujar Sangkuriang yang mau menerima ajian yang akan diberikan kepadanya.
Benar saja setelah ajian sakti itu telah diberikan, maka untuk beberapa saat Sangkuriang merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dan berdiam diri tepat di jantungnya. Entahlah, Sangkuriang pun tidak mengetahui mengapa hal itu dapat terjadi padanya.
Sangkuriang tinggal seorang diri di hutan, ia tidak ditemani oleh manusia melainkan oleh berbagai macam hewan. Ia ditemani para monyet abu-abu, ular piton, kelelawar dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, Sangkuriang juga sekaligus berlatih dengan meniru gaya-gaya yang diperlihatkan para hewan yang dilihatnya.
Sehingga ia bisa mengolah ilmu yang ada di dalam dirinya dengan dipadukan jurus-jurus terbaik. Ya, ia belajar banyak jurus-jurus beladiri seorang diri. Seperti jurus mematuk ular dan loncatan monyet. Sangkuriang tidak pernah malas dan berhenti untuk terus berlatih mengolah kemampuannya sendiri. Hal itu terjadi selama bertahun-tahun sehingga kemampuannya semakin bertambah baik dan kuat. Ya, tanpa terasa Sangkuriang telah tumbuh menjadi manusia yang cukup dewasa. Apalagi ia sudah membekali dirinya sendiri dengan ilmu-ilmu beladiri yang dipelajari beberapa tahun yang lalu.
Sangkuriang merasa telah cukup dan menjadi manusia kuat untuk kembali ke desa. Ia bisa mempertahankan diri sendiri dengan berbekal kekuatan yang dimilikinya. Bertahun-tahun lamanya ia tidak berkomunikasi dengan manusia sesamanya. Ya, sekian lama ia menjauh dari kehidupan manusia dengan hiruk pikuk kehidupan desa. Bukan ia tak ingin segera kembali ke desa. Akan tetapi ia merasa masih takut setelah pengusiran yang dilakukan ibunya sendiri.
Sangkuriang mendadak merindukan ibunya dan ia segera bersiap untuk kembali ke desa. Ya, itu rencana yang sangat baik untuk bisa melanjutkan hidup. Setidaknya ia akan bekerja dimana saja dan akan membantu siapa saja. Supaya setidaknya ia tidak akan kelaparan dan akan bertahan hidup. Ia sudah siap.
“Wahai kawan-kawanku, aku akan pergi untuk kembali ke desa.” Sangkuriang mengucapkan salam perpisahan kepada teman-temannya. Ya, mereka para hewan-hewan yang telah menemaninya selama ini. “ Aku harus melanjutkan kehidupanku sebagai manusia yang hidup bersama manusia. Kalian adalah teman sekaligus guru yang tidak akan pernah aku lupakan jasa-jasa yang sudah kalian berikan selama ini. Terima kasih banyak, kawan.”
Akhirnya Sangkuriang pergi dan keluar dari dalam hutan setelah berpamitan dengan semua teman-temannya. Ia akan kelauar dari dalam hutan menuju jalan desa, setidaknya ia masih mengingat jalan desa menuju rumah ibunya, Dayang Sumbi. Ya, meskipun kini warga desa dan bahkan ibunya sendiri tidak lagi mengenali Sangkuriang kecil yang dulu tiba-tiba menghilang dari desanya. Kini Sangkuriang telah kembali dengan keadaan yang cukup baik dan telah tumbuh menjadi manusia dewasa. Bahkan ia siap melawan setiap penjahat yang hendak menyakitinya dimanapun ia berada.
“Kisana, maaf mengganggu,” ujar Sangkuriang yang melihat seorang pria sepuh sedang mencangkul di ladangnya.
“Iya, ada yang bisa saya bantu, Den?” tanya pria sepuh. Ya, setiap orang akan menyebut seseorang dengan panggilan Aden atau Kisana jika kita tidak kenal dan tidak mengetahui namanya.
“Saya ingin tanya, benarkah ini jalan menuju ke desa?” tanya Sangkuriang yang memastikan perjalanannya. Ia tidak ingin sampai tersesat apalagi perjalanannya sudah sangat jauh dari hutan.
“Oh, iya betul, Den.” Pria sepuh itu membenarkan pertanyaan Sangkuriang. “Aden tinggal berjalan lurus saja, maka sebentar lagi sudah memasuki desa.”
“Baiklah, Kisana." Sangkuriang cukup melanjutkan perjalanan sedikit lagi.
“Iya silakan, Den," ucap pria sepuh itu. Sementara Sangkuriang kembali melanjutkan perjalanannya menuju desa. Semoga desa hari ini telah menjadi desa yang aman tanpa banyak pemberontak atau pencuri yang meminta upeti dari rakyat.
Sangkuriang berjalan dengan penuh percaya diri. Berharap ia segera bertemu dengan ibunya Dayang Sumbi. Kemudian hidupnya akan baik-baik saja, pikirnya.
Sebuah takdir hendak mempertemukan kembali sebuah perpisahan yang pernah terjadi. Namun sekalipun tak ia ketahui, apakah keadaan itu telah berubah atau menghilang. Siapapun di muka bumi hanya bisa berencana tanpa mengetahui seperti apa kenyataan yang ada di depan matanya. Sekalipun ia tidak mengetahuinya, semoga yang kuasa menunjukkan segala kebenaran meskipun harus bersusah payah untuk mencapainya.
Jadilah Tangkuban Perahu—Sangkuriang akhirnya telah mendapatkan sebuah tempat tinggal di dekat pasar desa. Ya, meskipun bukan rumah yang mewah tapi setidaknya nyaman untuk ditinggali. Apalagi sewa perbulannya juga terbilang murah untuk bisa dibayar Sangkuriang.
Hari ini ia berencana mencari pekerjaan supaya kebutuhan hidupnya bisa tercukupi. Tentusaja sembari mencari ibunya Dayang Sumbi. Maka dengan segera Sangkuriang pergi untuk mencari pekerjaan. Kini ia sedang memperhatikan seorang perempuan yang berada di sebuah ladang jagung. Perempuan itu seorang diri, kemudian menyadari kehadiran Sangkuriang yang menatapnya dari jauh.
“Hei siapakah engkau, Kisana?” tanya perempuan itu.
“Maaf, apakah saya dapat bekerja kepada anda?” tanya Sangkuriang yang merasa kikuk karena tertangkap basah melihat seorang perempuan. Meskipun sebenarnya ia hanya ingin menanyakan pekerjaan.
“Oh, tentu saja. Kemarilah!” seru perempuan itu sambil melambaikan tangannya. “Kisana bisa membantu saya memanen jagung ini.”
“Baiklah, saya akan segera ke sana!” seru Sangkuriang yang akhirnya mendapatkan pekerjaan meskipun hanya sebagai buruh pemanen jagung.
Akhirnya Sangkuriang mendapatkan pekerjaan dari seorang perempuan yang bernama Sulastri, ia seorang perempuan yang cantik dan hidup seorang diri. Sehingga ia membantu Sulastri membawa hasil panen jagung hingga sampai ke rumahnya. Kemudian Sangkuriang mendapatkan upah bekerjanya dengan beberapa kepingan uang. Ia merasa sangat senang.
“Terimakasih, Nona atas upahnya,” ucap Sangkuriang kepada Sulastri.
“Oh, iya sama-sama. Itu upah yang pantas untuk diberikan kepada pekerja keras sepertimu,” ucap Sulastri. “Siapakah namamu?”
“Nama saya Sangkuriang, Nona.” Sangkuriang menjawab dengan cepat.
“Baiklah, Sangkuriang. Besok kau bisa kembali bekerja di ladangku, aku merasa kau memang pekerja yang baik.” Sulastri meminta Sangkuriang untuk kembali bekerja di ladangnya esok hari.
Sangkuriang pergi dari rumah Sulastri setelah mengantarkan jagung dari ladang dan mendapatkan upah kerja hari ini. Tentu saja upah hari ini sangat banyak baginya, cukup untuk membeli kebutuhan hari ini dan menabung untuk uang sewa bulan depan kepada penyewa rumah.
Hari demi hari Sulastri dan Sangkuriang selalu bertemu di ladang atau di rumahnya untuk menyetor hasil panen. Hal itu pula yang perlahan menimbulkan rasa aneh di dalam hati keduanya. Ya, mereka saling jatuh cinta satu sama lain dan akhirnya setuju untuk menjadi sepasang kekasih. Bahkan keduanya hendak menyatukan cintanya ke dalam ikatan pernikahan. Ya. Sangkuriang hendak melamar Sulastri.
“Wahai Sangkuriang, benarkah engkau akan melamarku?” tanya Sulastri yang kembali memastikan pada kekasihnya Sangkuriang.
“Tentusaja, secepatnya aku akan melamarmu.” Sangkuriang dengan percaya diri meyakinkan Sulastri.
“Baiklah, tapi sebelum itu bolehkah aku mengetahui siapa orangtuamu dan asal-usulmu?” tanya Sulastri yang penasaran dengan asal-usul Sangkuriang yang hidup sendiri di rumahnya.
Sangkuriang dengan santai menceritakan asal-usulnya, akan tetapi penjelasannya membuat Sulastri begitu terkejut mendengar jika Sangkuriang memiliki seorang ibu bernama Dayang Sumbi. Ia kabur dari rumahnya karena tanpa sengaja membunuh hewan kesayangannya.
“Siapa nama Ibumu itu, Sangkuriang?” tanya Sulastri.
“Dia bernama Dayang Sumbi,” jawab Sangkuriang. “Bahkan aku punya bekas luka di kepala akibat pernah dipukul ibu.”
“Coba kulihat bekasnya,” pinta Sulastri yang kemudian segera ditunjukkan Sangkuriang. Benar saja itu sesuai dengan perkiraan Sulastri.
“Setelah hari ini, aku jadi berpikir untuk segera melamarmu saja, Sulastri,” ucap Sangkuriang yang tampak bahagia mengutarakan keinginannya.
“Kapan itu, Sangkuriang?” tanya Sulastri yang gugup.
“Besok saja, bagaimana?” tanya Sangkuriang untuk memastikan.
“Baiklah, terserah kau saja. Asal kau harus memenuhi persyaratannya.” Sulastri mengizinkan Sangkuriang melamarnya dengan beberapa syarat.
“Apa syaratnya itu, Sulastri?” tanya Sangkuriang yang menjadi penasaran.
Sulastri menjelaskan jika dia ingin dibuatkan sebuah bendungan besar, kemudian selanjutnya ia ingin dijemput Sangkuriang menggunakan sebuah perahu. Persyaratan itu tentu saja harus diselesaikan dalam semalam.
Setelah Sulastri selesai menjelaskan maka Sangkuriang segera berkata, “Baiklah, Sulastri aku akan melakukannya untukmu. Aku berjanji akan menyelesaikan semua persyaratan itu dalam semalam. Jika tidak maka aku bersedia pergi dari hidupmu untuk selamanya.”
“Baiklah, Sangkuriang aku pegang janjimu. Pergilah sekarang juga, semoga engkau berhasil.” Sulastri mendoakan segera Sangkuriang berhasil dengan misinya.
Sulastri adalah seorang wanita yang sudah berusia lanjut, akan tetapi ia tetap diberi kecantikan sehingga ia memiliki aura yang awet muda. Selanjutnya Sulastri adalah nama lain dari Dayang Sumbi. Ia berganti nama sebab menjauhkan diri dari incaran pengawal kerajaan yang tetap mencari dirinya. Sehingga ia pergi dari rumah yang sempat ditinggali bersama sangkuriang dulu. Hal itu dilakukan supaya menghindari kejaran pengawal kerajaan dan menghindari kesedihan yang berlarut-larut akibat kehilangan anaknya.
Ternyata Sangkuriang adalah anak kandungnya sendiri, maka Sulastri harus mencoba mencari cara supaya rencana untuk melamar Sulastri bisa digagalkan.
Sementara di tempat lain, Sangkuriang sudah mengumpulkan seluruh pasukannya yang berasal dari negeri bangsa jin. Ya, mereka siap membantu Sangkuriang untuk mewujudkan keinginannya, supaya dapat melamar Sulastri esok hari.
“Wahai, temanku Bangsa Jin. Kiranya sekarang giliran kalian untuk membantu keinginanku,” seru Sankuriang kepada seluruh bangsa jin yang datang.
“Kami bersedia,” jawab seluruh pasukan bangsa jin serempak.
Sangkuriang sudah memberi perintah supaya semua pasukan bangsa jin dapat memulai pekerjaannya untuk membendung sungai, berkat kekuatan ghaib yang disatukan pada malam ini maka bendungan pun hampir selesai dibangun.
Sulastri mendengar kabar bahwa pasukan Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya untuk membangun bendungannya.
“Wahai, Sulastri. Aku sudah mendapat kabar bahwa Sangkuriang sudah hampir selesai membangun bendungannya.” Tetangga Sulastri memberitahunya dengan langkah yang tergopoh-gopoh karena ingin segera menyampaikan pesan kepadanya.
Mendengar hal itu, Sulastri sangat kaget karena hari masih malam. Bisa saja Sangkuriang bisa menyelesaikan persyaratannya sebelum pagi menjelang. Maka Sulastri segera mencari seluruh gadis di desa untuk membantunya menggagalkan keinginan Sangkuriang.
Baca Juga : Kumpulan Cerita Rakyat
Ketika pagi hampir menjelang maka Sulastri dan seluruh perempuan desa sudah berkumpul di depan rumah Sulastri. Mereka membakar banyak jerami di beberapa titik, kemudian ada yang memukul kentongan dan ada yang memukul alat tumbuk padi secara bersamaan. Sehingga suara yang dihasilkan sampai ke lokasi dimana Sangkuriang beserta pasukannya sedang membuat perahu yang besar. Sontak saja seluruh pasukan dari bangsa jin terkejut, jika suara itu sebagai pertanda bahwa hari sudah pagi. Maka semua pasukan dari bangsa jin pulang ke negerinya tanpa pamit, meninggalkan sedikit lagi pekerjaan yang belum diselesaikan.
Melihat keadaan itu maka Sangkuriang merasa sangat marah dan kecewa. Ia berteriak dengan sangat keras berulangkali. Tentusaja ini menjadi pertanda bahwa Sangkuriang gagal melamar Sulastri kekasihnya. Mengetahui kenyataan itu maka dengan disuluti emosi yang masih mendidih, seketika Sangkuriang menendang perahu yang hendak dipakainya untuk menjemput Sulastri. Akan tetapi hal itu tidak akan pernah terjadi selamanya. Bahkan kini perahu itu sudah menghilang dari hadapan Sangkuriang, entah kemana.
Diceritakan bahwa perahu yang ditendang Sangkuriang telah sampai di sebuah bukit dalam keadaan yang terbalik. Sehingga hari ini menjadi wujud sebuah gunung dari perahu yang terbalik. Bahasa sunda dari kata terbalik adalah “Nangkub.” Lebih tepatnya sering disebut gunung Tangkuban Perahu.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Sangkuriang yang mencintai ibunya sendiri. Akan tetapi hari ini gunung Tangkuban Perahu masih menjadi tujuan wisata pilihan di jawa barat. Banyak yang menyukainya dan banyak pula yang mengaitkannya dengan kisah Sangkuriang.
Desiana P
Sumber gambar : google go/picture.com PPID Kota Bandung |
Sangkuriang Kecil—Tanah sunda memiliki banyak keragaman budaya dan cerita. Seperti hendak mengabadikan sebuah kenangan yang sempat terjadi atau sengaja diciptakan. Ya, semuanya kembali pada kemampuan para leluhur dalam meracik kata dan mantra ajaib. Tak ayal semuanya menjadi kesatuan yang padu dan tinggal di masa lalu, kemudian selalu dikenang hari ini sebagai legenda dan benar-benar melegenda.
Seperti Sangkuriang yang pada akhirnya tidak merasa dirugikan oleh siapapun. Dia menjadi bagian sejarah dari sebuah peristiwa ajaib di jawa barat. Apa itu?
Pada masa itu Sangkuriang kecil berjalan tertatih di saat hujan turun begitu deras. Seakan dunia berkecamuk seperti keadaannya saat ini. Dia sudah diusir ibunya sendiri yang bernama Dayang Sumbi, akibat perbuatannya secara tidak sengaja membunuh anjing kesayangan ibunya yang bernama Tumang. Dayang Sumbi sangat marah dan mengusirnya setelah mendaratkan satu tamparan keras di pipi Sangkuriang. Ia segera berlari menjauh dan meninggalkan ibunya seorang diri.
Pada awalnya Dayang Sumbi dan Sangkuriang tinggal di dalam sebuah rumah yang cukup jauh dari jangkauan rumah-rumah penduduk. Ya, sebenarnya Dayang Sumbi bersembunyi dari pengawasan para pengawal ayahnya yang merupakan seorang raja di sebuah istana kerajaan. Dayang Sumbi adalah seorang putri raja yang tidak ingin tinggal di kerajaannya sendiri. Maka ia memilih untuk tinggal di daerah terpencil, jauh dari jangkauan ayahnya.
***
Sangkuriang berteduh di dalam sebuah gua tua, ia ingin menghindari hujan yang mengguyur sangat deras. Kini ia seorang diri tanpa seorang teman, apalagi berada di dalam hutan sama dengan menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Akan tetapi ia sudah memutuskan untuk tinggal di dalam hutan untuk waktu yang belum bisa dipastikan.
Kemudian ia tengah meratapi nasibnya yang tak menentu dan tanpa sengaja telah menyenggol sebuah wadah mirip tembikar tua yang ditutupi batu di atasnya, lalu terjatuh dan pecah. Sangkuriang sangat keget apalagi ada suara yang berbicara padanya.
“Wahai Sangkuriang!” seru sebuah suara yang entah berasal dari mana dan suara itu mengetahui namanya, Sangkuriang.
“Siapa engkau, kenapa engkau mengetahui namaku?” tanya Sangkuriang yang segera menebarkan pandangannya ke seluruh sudut gua yang gelap. Ia bingung.
“Kau telah menyelamatkanku dari penjara tembikar itu untuk waktu yang telah lama.” Akhirnya suara itu menjawab, ternyata suara itu berasal dari sesuatu yang ada di dalam tembikar yang tidak sengaja Sangkuriang pecahkan beberapa saat yang lalu.
“Aku tidak benar-benar menyelamatkanmu. Jadi berterimakasihlah kepada yang maha kuasa saja,” saran Sangkuriang.
“Tentu saja aku sudah melakukannya, Sangkuriang. Kini sebagai tanda terima kasih, maka aku akan memberimu ajian kesaktian yang akan melindungi hidupmu dari marabahaya, kau akan menjadi manusia kuat, Sangkuriang.” Suara itu hendak memberikan sebuah kekuatan pada Sangkuriang sebagai tanda terima kasih padanya.
“Baiklah, aku akan menerimanya,” ujar Sangkuriang yang mau menerima ajian yang akan diberikan kepadanya.
Benar saja setelah ajian sakti itu telah diberikan, maka untuk beberapa saat Sangkuriang merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dan berdiam diri tepat di jantungnya. Entahlah, Sangkuriang pun tidak mengetahui mengapa hal itu dapat terjadi padanya.
Sangkuriang tinggal seorang diri di hutan, ia tidak ditemani oleh manusia melainkan oleh berbagai macam hewan. Ia ditemani para monyet abu-abu, ular piton, kelelawar dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, Sangkuriang juga sekaligus berlatih dengan meniru gaya-gaya yang diperlihatkan para hewan yang dilihatnya.
Sehingga ia bisa mengolah ilmu yang ada di dalam dirinya dengan dipadukan jurus-jurus terbaik. Ya, ia belajar banyak jurus-jurus beladiri seorang diri. Seperti jurus mematuk ular dan loncatan monyet. Sangkuriang tidak pernah malas dan berhenti untuk terus berlatih mengolah kemampuannya sendiri. Hal itu terjadi selama bertahun-tahun sehingga kemampuannya semakin bertambah baik dan kuat. Ya, tanpa terasa Sangkuriang telah tumbuh menjadi manusia yang cukup dewasa. Apalagi ia sudah membekali dirinya sendiri dengan ilmu-ilmu beladiri yang dipelajari beberapa tahun yang lalu.
Sangkuriang merasa telah cukup dan menjadi manusia kuat untuk kembali ke desa. Ia bisa mempertahankan diri sendiri dengan berbekal kekuatan yang dimilikinya. Bertahun-tahun lamanya ia tidak berkomunikasi dengan manusia sesamanya. Ya, sekian lama ia menjauh dari kehidupan manusia dengan hiruk pikuk kehidupan desa. Bukan ia tak ingin segera kembali ke desa. Akan tetapi ia merasa masih takut setelah pengusiran yang dilakukan ibunya sendiri.
Sangkuriang mendadak merindukan ibunya dan ia segera bersiap untuk kembali ke desa. Ya, itu rencana yang sangat baik untuk bisa melanjutkan hidup. Setidaknya ia akan bekerja dimana saja dan akan membantu siapa saja. Supaya setidaknya ia tidak akan kelaparan dan akan bertahan hidup. Ia sudah siap.
“Wahai kawan-kawanku, aku akan pergi untuk kembali ke desa.” Sangkuriang mengucapkan salam perpisahan kepada teman-temannya. Ya, mereka para hewan-hewan yang telah menemaninya selama ini. “ Aku harus melanjutkan kehidupanku sebagai manusia yang hidup bersama manusia. Kalian adalah teman sekaligus guru yang tidak akan pernah aku lupakan jasa-jasa yang sudah kalian berikan selama ini. Terima kasih banyak, kawan.”
Akhirnya Sangkuriang pergi dan keluar dari dalam hutan setelah berpamitan dengan semua teman-temannya. Ia akan kelauar dari dalam hutan menuju jalan desa, setidaknya ia masih mengingat jalan desa menuju rumah ibunya, Dayang Sumbi. Ya, meskipun kini warga desa dan bahkan ibunya sendiri tidak lagi mengenali Sangkuriang kecil yang dulu tiba-tiba menghilang dari desanya. Kini Sangkuriang telah kembali dengan keadaan yang cukup baik dan telah tumbuh menjadi manusia dewasa. Bahkan ia siap melawan setiap penjahat yang hendak menyakitinya dimanapun ia berada.
“Kisana, maaf mengganggu,” ujar Sangkuriang yang melihat seorang pria sepuh sedang mencangkul di ladangnya.
“Iya, ada yang bisa saya bantu, Den?” tanya pria sepuh. Ya, setiap orang akan menyebut seseorang dengan panggilan Aden atau Kisana jika kita tidak kenal dan tidak mengetahui namanya.
“Saya ingin tanya, benarkah ini jalan menuju ke desa?” tanya Sangkuriang yang memastikan perjalanannya. Ia tidak ingin sampai tersesat apalagi perjalanannya sudah sangat jauh dari hutan.
“Oh, iya betul, Den.” Pria sepuh itu membenarkan pertanyaan Sangkuriang. “Aden tinggal berjalan lurus saja, maka sebentar lagi sudah memasuki desa.”
“Baiklah, Kisana." Sangkuriang cukup melanjutkan perjalanan sedikit lagi.
“Iya silakan, Den," ucap pria sepuh itu. Sementara Sangkuriang kembali melanjutkan perjalanannya menuju desa. Semoga desa hari ini telah menjadi desa yang aman tanpa banyak pemberontak atau pencuri yang meminta upeti dari rakyat.
Sangkuriang berjalan dengan penuh percaya diri. Berharap ia segera bertemu dengan ibunya Dayang Sumbi. Kemudian hidupnya akan baik-baik saja, pikirnya.
Sebuah takdir hendak mempertemukan kembali sebuah perpisahan yang pernah terjadi. Namun sekalipun tak ia ketahui, apakah keadaan itu telah berubah atau menghilang. Siapapun di muka bumi hanya bisa berencana tanpa mengetahui seperti apa kenyataan yang ada di depan matanya. Sekalipun ia tidak mengetahuinya, semoga yang kuasa menunjukkan segala kebenaran meskipun harus bersusah payah untuk mencapainya.
***
Jadilah Tangkuban Perahu—Sangkuriang akhirnya telah mendapatkan sebuah tempat tinggal di dekat pasar desa. Ya, meskipun bukan rumah yang mewah tapi setidaknya nyaman untuk ditinggali. Apalagi sewa perbulannya juga terbilang murah untuk bisa dibayar Sangkuriang.
Hari ini ia berencana mencari pekerjaan supaya kebutuhan hidupnya bisa tercukupi. Tentusaja sembari mencari ibunya Dayang Sumbi. Maka dengan segera Sangkuriang pergi untuk mencari pekerjaan. Kini ia sedang memperhatikan seorang perempuan yang berada di sebuah ladang jagung. Perempuan itu seorang diri, kemudian menyadari kehadiran Sangkuriang yang menatapnya dari jauh.
“Hei siapakah engkau, Kisana?” tanya perempuan itu.
“Maaf, apakah saya dapat bekerja kepada anda?” tanya Sangkuriang yang merasa kikuk karena tertangkap basah melihat seorang perempuan. Meskipun sebenarnya ia hanya ingin menanyakan pekerjaan.
“Oh, tentu saja. Kemarilah!” seru perempuan itu sambil melambaikan tangannya. “Kisana bisa membantu saya memanen jagung ini.”
“Baiklah, saya akan segera ke sana!” seru Sangkuriang yang akhirnya mendapatkan pekerjaan meskipun hanya sebagai buruh pemanen jagung.
Akhirnya Sangkuriang mendapatkan pekerjaan dari seorang perempuan yang bernama Sulastri, ia seorang perempuan yang cantik dan hidup seorang diri. Sehingga ia membantu Sulastri membawa hasil panen jagung hingga sampai ke rumahnya. Kemudian Sangkuriang mendapatkan upah bekerjanya dengan beberapa kepingan uang. Ia merasa sangat senang.
“Terimakasih, Nona atas upahnya,” ucap Sangkuriang kepada Sulastri.
“Oh, iya sama-sama. Itu upah yang pantas untuk diberikan kepada pekerja keras sepertimu,” ucap Sulastri. “Siapakah namamu?”
“Nama saya Sangkuriang, Nona.” Sangkuriang menjawab dengan cepat.
“Baiklah, Sangkuriang. Besok kau bisa kembali bekerja di ladangku, aku merasa kau memang pekerja yang baik.” Sulastri meminta Sangkuriang untuk kembali bekerja di ladangnya esok hari.
Sangkuriang pergi dari rumah Sulastri setelah mengantarkan jagung dari ladang dan mendapatkan upah kerja hari ini. Tentu saja upah hari ini sangat banyak baginya, cukup untuk membeli kebutuhan hari ini dan menabung untuk uang sewa bulan depan kepada penyewa rumah.
***
Hari demi hari Sulastri dan Sangkuriang selalu bertemu di ladang atau di rumahnya untuk menyetor hasil panen. Hal itu pula yang perlahan menimbulkan rasa aneh di dalam hati keduanya. Ya, mereka saling jatuh cinta satu sama lain dan akhirnya setuju untuk menjadi sepasang kekasih. Bahkan keduanya hendak menyatukan cintanya ke dalam ikatan pernikahan. Ya. Sangkuriang hendak melamar Sulastri.
“Wahai Sangkuriang, benarkah engkau akan melamarku?” tanya Sulastri yang kembali memastikan pada kekasihnya Sangkuriang.
“Tentusaja, secepatnya aku akan melamarmu.” Sangkuriang dengan percaya diri meyakinkan Sulastri.
“Baiklah, tapi sebelum itu bolehkah aku mengetahui siapa orangtuamu dan asal-usulmu?” tanya Sulastri yang penasaran dengan asal-usul Sangkuriang yang hidup sendiri di rumahnya.
Sangkuriang dengan santai menceritakan asal-usulnya, akan tetapi penjelasannya membuat Sulastri begitu terkejut mendengar jika Sangkuriang memiliki seorang ibu bernama Dayang Sumbi. Ia kabur dari rumahnya karena tanpa sengaja membunuh hewan kesayangannya.
“Siapa nama Ibumu itu, Sangkuriang?” tanya Sulastri.
“Dia bernama Dayang Sumbi,” jawab Sangkuriang. “Bahkan aku punya bekas luka di kepala akibat pernah dipukul ibu.”
“Coba kulihat bekasnya,” pinta Sulastri yang kemudian segera ditunjukkan Sangkuriang. Benar saja itu sesuai dengan perkiraan Sulastri.
“Setelah hari ini, aku jadi berpikir untuk segera melamarmu saja, Sulastri,” ucap Sangkuriang yang tampak bahagia mengutarakan keinginannya.
“Kapan itu, Sangkuriang?” tanya Sulastri yang gugup.
“Besok saja, bagaimana?” tanya Sangkuriang untuk memastikan.
“Baiklah, terserah kau saja. Asal kau harus memenuhi persyaratannya.” Sulastri mengizinkan Sangkuriang melamarnya dengan beberapa syarat.
“Apa syaratnya itu, Sulastri?” tanya Sangkuriang yang menjadi penasaran.
Sulastri menjelaskan jika dia ingin dibuatkan sebuah bendungan besar, kemudian selanjutnya ia ingin dijemput Sangkuriang menggunakan sebuah perahu. Persyaratan itu tentu saja harus diselesaikan dalam semalam.
Setelah Sulastri selesai menjelaskan maka Sangkuriang segera berkata, “Baiklah, Sulastri aku akan melakukannya untukmu. Aku berjanji akan menyelesaikan semua persyaratan itu dalam semalam. Jika tidak maka aku bersedia pergi dari hidupmu untuk selamanya.”
“Baiklah, Sangkuriang aku pegang janjimu. Pergilah sekarang juga, semoga engkau berhasil.” Sulastri mendoakan segera Sangkuriang berhasil dengan misinya.
***
Sulastri adalah seorang wanita yang sudah berusia lanjut, akan tetapi ia tetap diberi kecantikan sehingga ia memiliki aura yang awet muda. Selanjutnya Sulastri adalah nama lain dari Dayang Sumbi. Ia berganti nama sebab menjauhkan diri dari incaran pengawal kerajaan yang tetap mencari dirinya. Sehingga ia pergi dari rumah yang sempat ditinggali bersama sangkuriang dulu. Hal itu dilakukan supaya menghindari kejaran pengawal kerajaan dan menghindari kesedihan yang berlarut-larut akibat kehilangan anaknya.
Ternyata Sangkuriang adalah anak kandungnya sendiri, maka Sulastri harus mencoba mencari cara supaya rencana untuk melamar Sulastri bisa digagalkan.
Sementara di tempat lain, Sangkuriang sudah mengumpulkan seluruh pasukannya yang berasal dari negeri bangsa jin. Ya, mereka siap membantu Sangkuriang untuk mewujudkan keinginannya, supaya dapat melamar Sulastri esok hari.
“Wahai, temanku Bangsa Jin. Kiranya sekarang giliran kalian untuk membantu keinginanku,” seru Sankuriang kepada seluruh bangsa jin yang datang.
“Kami bersedia,” jawab seluruh pasukan bangsa jin serempak.
Sangkuriang sudah memberi perintah supaya semua pasukan bangsa jin dapat memulai pekerjaannya untuk membendung sungai, berkat kekuatan ghaib yang disatukan pada malam ini maka bendungan pun hampir selesai dibangun.
Sulastri mendengar kabar bahwa pasukan Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya untuk membangun bendungannya.
“Wahai, Sulastri. Aku sudah mendapat kabar bahwa Sangkuriang sudah hampir selesai membangun bendungannya.” Tetangga Sulastri memberitahunya dengan langkah yang tergopoh-gopoh karena ingin segera menyampaikan pesan kepadanya.
Mendengar hal itu, Sulastri sangat kaget karena hari masih malam. Bisa saja Sangkuriang bisa menyelesaikan persyaratannya sebelum pagi menjelang. Maka Sulastri segera mencari seluruh gadis di desa untuk membantunya menggagalkan keinginan Sangkuriang.
Baca Juga : Kumpulan Cerita Rakyat
Ketika pagi hampir menjelang maka Sulastri dan seluruh perempuan desa sudah berkumpul di depan rumah Sulastri. Mereka membakar banyak jerami di beberapa titik, kemudian ada yang memukul kentongan dan ada yang memukul alat tumbuk padi secara bersamaan. Sehingga suara yang dihasilkan sampai ke lokasi dimana Sangkuriang beserta pasukannya sedang membuat perahu yang besar. Sontak saja seluruh pasukan dari bangsa jin terkejut, jika suara itu sebagai pertanda bahwa hari sudah pagi. Maka semua pasukan dari bangsa jin pulang ke negerinya tanpa pamit, meninggalkan sedikit lagi pekerjaan yang belum diselesaikan.
Melihat keadaan itu maka Sangkuriang merasa sangat marah dan kecewa. Ia berteriak dengan sangat keras berulangkali. Tentusaja ini menjadi pertanda bahwa Sangkuriang gagal melamar Sulastri kekasihnya. Mengetahui kenyataan itu maka dengan disuluti emosi yang masih mendidih, seketika Sangkuriang menendang perahu yang hendak dipakainya untuk menjemput Sulastri. Akan tetapi hal itu tidak akan pernah terjadi selamanya. Bahkan kini perahu itu sudah menghilang dari hadapan Sangkuriang, entah kemana.
Diceritakan bahwa perahu yang ditendang Sangkuriang telah sampai di sebuah bukit dalam keadaan yang terbalik. Sehingga hari ini menjadi wujud sebuah gunung dari perahu yang terbalik. Bahasa sunda dari kata terbalik adalah “Nangkub.” Lebih tepatnya sering disebut gunung Tangkuban Perahu.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Sangkuriang yang mencintai ibunya sendiri. Akan tetapi hari ini gunung Tangkuban Perahu masih menjadi tujuan wisata pilihan di jawa barat. Banyak yang menyukainya dan banyak pula yang mengaitkannya dengan kisah Sangkuriang.
***
Selesai
Pesan moral yang dapat kita peroleh dari kisah ini adalah kita harus berusaha untuk menahan emosi. Sebab emosi yang baik adalah emosi yang terkendali, bukan berarti tidak pernah memiliki emosi sama sekali.Desiana P
Belum ada Komentar untuk "Cerita dongeng Sangkuriang Legenda Tangkuban Perahu versi Lengkap"
Posting Komentar