Cerita Danau Toba dan ikan ajaib kisah legenda pulau samosir
Cerita Danau Toba dan Ikan Ajaib—Sebuah kisah yang akan menjadikan awal cerita dan akan memiliki sebuah akhir, baik indah atau tak pantas dikenang lagi. Selalu berawal pada pertemuan yang mengejutkan kemudian berjalan bahagia meski perlahan. Ya, siapa yang tahu takdirnya siapa. Semua hanya tentang usaha pada penantian yang tak juga terkabulkan. Padahal sang kuasa sedang mempersiapkan segala yang terbaik. Hanya saja manusia terkadang tidak bisa sabar meski sebentar saja. Ya, manusia sering merasa lelah menunggu. Kemudian mengalah di penghujung perjuangannya. Hanya sedikit yang bisa bertahan. Salah satunya adalah seorang pemuda yang tengah duduk di pinggiran sungai.
Dialah Toba, seorang pemuda dari tanah sumatera yang rajin bekerja. Desanya terkenal dengan lahan pertanian yang subur dan ladang yang luas. Sehingga setiap warga adalah petani dan sebagian telah menjadi juragan dan tengkulak atau bandar yang sering melakukan penjualan ke luar daerah.
Toba hidup seorang diri di rumahnya yang tidak begitu mewah akan tetapi layak untuk dihuni dengan nyaman. Ia selalu pergi saat hari baru saja dimulai pagi hari, bekerja seharian di ladang pertanian kemudian pulang menjelang sore hari. Kemudian segera memenuhi keperluannya sendiri seperti mandi dan memasak. Ya, ia menyiapkan segala sesuatunya sendiri tanpa dibantu orang lain.
Memancing menjadi kegiatan Toba di sela-sela pergi ke ladang pertanian. Mencari ikan di sungai dijadikan sebagai pelarian dari rasa bosan pada rutinitas yang sama. Apalagi ia selalu dihadapkan pada pertanyaan warga desa, seperti tadi di perjalanan menuju ke sungai.
“Hai, Toba. Kau mau pergi kemana?” tanya Pak Sarai yang sedang mencangkul di ladangnya.
“Saya hendak ke sungai, Pak."
“Kapan lah kau ini hendak menikah, Toba?” tanya pak Sarai.
Toba hanya tersenyum hambar. “Memangnya kenapa Pak Sarai bertanya begitu?”
Pak Sarai kemudian melepas topi capingnya dan mengipasi diri sendiri. “Supaya kau punya teman di rumahmu itu. Lagi pula istrimu bisa kau bawa sekalian ke sungai, kamu mancing dia mencuci baju.”
Pak Sarai kemudian tertawa sembari hendak mencangkul lagi.
Toba juga tertawa, “Doakan saja, Pak. Semoga saya dapat segera punya istri seperti itu.”
Ya, Toba seperti masih mendengar nasihat pak Sarai. Mungkin ia akan semakin semangat bekerja jika seseorang telah menunggu kepulangannya di rumah, sembari menyiapkan makanan untuknya. Ya, mungkin itu yang akan Toba dapatkan jika ia memiliki pasangan hidup. Sekilas, ia menginginkannya.
Jika sedang tidak bekerja, maka seharian penuh ia gunakan hanya untuk memancing ikan di sungai. Ya, ia merasa sangat bosan melakukan hal yang sama berulang-ulang. Tak disadari jika Toba telah melakukan semua kegiatan ini semenjak ibunya pergi untuk selama-lamanya dengan penyakit keras. Sebuah penyakit yang akhirnya membuat Toba harus hidup seorang diri, tanpa kerabat atau sanak terdekat. Pada awalnya ia merasa frustasi, akan tetapi semuanya perlahan mulai bisa diterimanya dengan hati yang lapang.
Toba bisa melewati berbagai masa sulit seorang diri, tanpa kekurangan apapun di dalam hidupnya. Meski ia bukan seorang yang kaya, namun kehidupannya tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang miskin. Hal itu bisa terjadi padanya, berkat pelajaran dan nasihat yang diberikan kedua orangtuanya supaya bisa bekerja keras dengan benar. Sehingga ia menjadi diri yang kuat dan rajin bekerja. Terkadang Toba merasa sangat bersyukur dengan keadaannya saat ini, ia bisa hidup sendiri dengan mandiri.
Lamunannya seketika menjadi buyar, menghilang tak tentu arah. Ketika kail yang dipegangnya bergerak. Pertanda bahwa ada ikan terjebak oleh umpan yang dipasangnya. Maka sekuat tenaga, Toba menarik kail pancingnya. Kemudian muncullah seekor ikan emas yang besar keluar ke permukaan. Ia segera memasukkan ikan hasil tangkapannya ke dalam keranjang dengan perasaan yang bahagia. Tentusaja hal itu terjadi karena ikan sebesar itu bisa dijadikan lauk untuk beberapa hari ke depan. Akhirnya Toba segera pulang ke rumah dan tidak berniat untuk memancing ikan lagi. Ia merasa jika ikan yang ditangkapnya sudah lebih dari cukup.
Tibalah Toba di rumahnya yang selalu sepi tanpa penghuni. Ia segera membuka pintu dan menuju dapur. Toba menuju wadah yang berisi air untuk memasukkan ikan tangkapannya ke dalam wadah. Ya, kemudian ikan itu masih hidup dan bergerak lincah di dalam wadah. Toba akan segera memasak ikannya, maka ia menuju dapur untuk menyiapkan beberapa bumbu yang perlu dipersiapkan. Tak hanya itu, Toba segera menyalakan tungku supaya mempermudah kegiatan memasaknya. Hari ini spesial karena ikan yang ditangkap Toba berukuran sangat besar dan belum pernah ia dapatkan selama memancing di pinggir sungai.
Ketika bumbu dan tungku telah siap, maka Toba lekas kembali pada ikan yang disimpan di dalam wadah. Ia bermaksud untuk membersihkan ikan yang kemudian akan ia masak dengan bumbu yang sudah siap di dapurnya.
Akan tetapi Toba kaget karena ia terfokus pada wadah ikan yang sudah kosong. Kemudian ia lebih terkejut lagi ketika ikan yang ada di dalam wadah berganti dengan kepingan koin emas yang berkilauan. Toba sangat terkejut lagi dengan seorang perempuan cantik yang berdiri tidak jauh dari wadah ikannya.
“Wahai, Nona. Siapakah Anda ini?” tanya Toba yang kaget dengan keberadaan seorang perempuan di dalam rumahnya.
“Aku adalah orang yang kamu tolong tadi siang.” Perempuan itu menjawab dengan sopan, akan tetapi tetap saja Toba masih sangat bingung. Siapa yang menolong perempuan ini. Ia sama sekali tidak menolong seorang perempuan hari ini.
“Maaf, Nona. Mungkin Anda salah orang. Akan tetapi apakah Nona melihat ikan saya di wadah itu?” tanya Toba yang akhirnya tidak mampu menjawab, sehingga langsung bertanya tentang ikannya yang tiba-tiba hilang.
"Aku ikan yang kau tangkap itu, sekarang aku sudah berubah menjadi manusia," jawab perempuan itu.
“Apa maksudmu, Nona. Saya tidak memahaminya sedikitpun,” ujar Toba yang benar-benar tidak paham.
Akhirnya perempuan itu menceritakan bahwa dia adalah ikan yang dipancing Toba tadi siang. Sebenarnya ia telah dikutuk oleh seorang dukun sakti, karena telah menolak sebuah perjodohan. Sebuah perjodohan yang tidak disetujuinya, sehingga ia berontak. Akhirnya pihak pria yang ditolaknya meminta bantuan seorang dukun untuk mengutuknya menjadi seekor ikan. Kemudian tentang koin emas yang ada di dalam wadah adalah sisik ikan yang akan berubah menjadi emas jika perempuan itu berhasil untuk kembali menjadi manusia normal.
“Sehingga aku sangat berterima kasih padamu. Bahkan aku bersedia jika harus menjadi seorang istri di rumahmu ini,” ucap perempuan itu yang kemudian segera menebarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di sekitarnya.
Mendengar pernyataan itu maka seketika membuat Toba terkejut sekaligus bahagia. Ia merasa bahwa sang kuasa mengabulkan permintaannya tentang seorang pasangan hidup. Tentusaja ini bukan sebuah kebetulan semuanya akan tetapi Toba yakini sebagai takdir yang sangat indah.
Akan tetapi untuk sejenak Toba harus menghentikan kebahagiaanya. Ya, setelah Toba dan perempuan itu setuju untuk menjadi pasangan hidup ternyata ada satu permintaan yang harus Toba penuhi.
“Ada satu syarat yang harus Anda patuhi jika hendak menjadi suamiku.” Perempuan itu berkata sambil menatap Toba dengan terfokus.
“Apa itu?” tanya Toba yang akhirnya sangat penasaran. Perlahan tawa bahagianya berhenti sejenak. Ia khawatir jika itu adalah syarat yang sulit untuk diwujudkan.
“Anda tidak boleh sekalipun menyebut asal usulku sebagai seekor ikan, sebesar dan sekuat apapun anda sedang marah terhadap sesuatu di hari yang akan datang nanti.” Perempuan itu berujar tentang syaratnya. Sekilas itu adalah syarat yang mudah. “Jika tidak, maka aku tidak bisa melindungi siapapun untuk bisa selamat dari sebuah bencana besar.”
Toba berpikir sejenak tentang syarat perempuan itu, kemudian setuju dengan pasti ia berkata.”Baiklah, aku menyetujuinya.”
Kehidupan Toba telah berubah, tanpa kesepian yang selama ini menderanya. Ya, dia sudah memiliki istri yang sangat mencintainya sehingga membuat Toba semakin giat bekerja. Tak hanya itu, warga juga telah mengetahui jika pemuda di desanya bernama Toba telah memiliki pasangan hidup. Oh, entahlah bagaimana menjelaskan perasaan Toba saat ini. Sungguh sulit untuk dijelaskan. Toba dan istrinya bahagia untuk saat yang telah dilalui beberapa waktu berlalu.
Baca Juga : Cerita dongeng anak si malin kundang
Jadilah Danau Toba!—Berkat kebahagiaan rumah tangga Toba dan istrinya, maka secara perlahan Toba meraih apa yang diinginkannya. Ia memiliki beberapa bidang ladang dan kebun sekaligus, sehingga dapat mempekerjakan banyak buruh yang setia dengan pekerjaannya. Ya, kini hidup Toba semakin lengkap dan hampir sempurna. Apalagi ketidaksempurnaan itu telah ditutupi dengan baik oleh kehadiran seorang anak lelaki. Ya, pernikahan dengan sang istri akhirnya dapat meneruskan garis keturunannya. Anak Toba adalah seorang lelaki yang diberi nama tepat di hari dilahirkannya ke dunia.
Di tengah tangis bahagia antara Toba dan istrinya, Toba memberikan sebuah nama yang indah. “Anakku sayang, kuberi engkau nama Samosir!”
Samosir menambah kebahagiaan hidup seorang Toba yang tetap rajin bekerja. Keinginannya untuk mendapat pasangan dan seorang anak yang cerdas akhirnya terwujud di dalam kehidupannya.
Apalagi ladang pertanian yang dimiliki Toba semakin luas dari tahun ke tahun. Kehidupan keluarga Toba semakin berkembang dengan lebih baik. Tidak menutup kemungkinan, jika keluarga Toba menjadi salah satu keluarga yang tersohor di desanya.
Pada suatu hari Samosir terlibat sebuah perkelahian dengan anak lain dari tetangganya. Akan tetapi akhirnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Karena baik Samosir dan tetangganya itu sama-sama salah karena sudah berkelahi akibat sebuah kesalahpahaman dalam permainan anak-anak.
Toba memperingatkan Samosir supaya tidak menjadikan perkelahian sebagai pelampiasan. Tentusaja peringatan dari ayahnya itu telah menakuti Samosir. Sehingga membuatnya segera meminta maaf.
“Maafkan, Samosir Ayah!” ucap Samosir yang segera tertunduk lesu. “Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
“Apakah itu sebuah janji?” tanya Toba kepada anaknya.
“Tentusaja, Ayah.” Samosir dengan cepat memeluk ayahnya, pertanda bahwa ayahnya Toba sudah memaafkan kesalahan Samosir.
Samosir sudah bisa diandalkan oleh ayah dan ibunya. Ya, Samosir adalah orang yang bertugas untuk mengantarkan makan siang ayahnya di ladang.
“Samosir, anakku!” seru ibunya dari dapur.
Samosir segera menuju ke dapur setelah ibunya memanggil, ”iya, ada apa Ibu?”
“Kamu antarkan makan siang ini pada Ayahmu di ladang sana,” ucap ibu Samosir sembari menyerahkan rantang makan siang ke tangan Samosir.
“Baiklah, Ibu.” Samosir segera menyanggupi perintah ibunya.
“Sampaikan maaf Ibu. Katakan pada Ayahmu jika Ibu sedikit terlambat memasak sehingga hari sudah sangat siang untuk mengantar makanannya.” Ibu Samosir berpesan tentang keterlambatannya memasak makan siang untuk suaminya.
“Baiklah, Ibu. Samosir akan sampaikan.” Samosir kembali menyanggupi keinginan ibunya, “Samosir pergi dulu!”
“Baiklah, hati-hati di jalan anakku!” seru ibunya yang melihat Samosir semakin menjauh dari pandangannya.
Perjalanan yang cukup jauh harus ditempuh Samosir menuju ladang milik ayahnya. Terkadang ia harus beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ya, kini Samosir sedang berisitirahat sejenak di dekat pohon rindang dan memeluk bekal makan siang milik ayahnya.
Bekalnya masih hangat sehingga membuat Samosir penasaran dengan isi makan siang buatan ibunya. Ya, akhirnya Samosir menjadi lapar saat melihat isi makan siang ayahnya, sehingga tanpa basa-basi Samosir segera menyantap makanan yang hendak diantarkan kepada ayahnya, Toba.
Sekilas Samosir akhirnya sadar telah memakan hampir seluruh bekal milik ayahnya. Sehingga ia segera merapikan bekal itu kembali seperti sedia kala dan berlari menuju ladang. Pasti ayahnya sudah menunggu kedatangan Samosir dengan membawa bekal makan siangnya.
Sampailah Samosir di ladang milik ayahnya, terlihat Toba sudah menunggu di saung dekat ladang. Tentusaja membuat Samosir ketakutan sehingga hanya menunduk menuju ayahnya.
“Kemarilah, Samosir!” seru Toba dengan tatapan yang tajam.
“Baiklah, Ayah,” jawab Samosir yang melangkah penuh keraguan.
“Kenapa kamu datang terlambat?” tanya Toba.
“Maaf, Ayah. Aku beristirahat sebentar dan lupa telah memakan bakal siangmu.” Akhirnya Samosir menjawab dengan penuh ketakutan.
“Apa?” tanya Toba terkejut sekaligus marah. Ia segera mengambil paksa bungkusan makan siang dari tangan Samosir. Kemudian melemparkannya dengan keras, ia melihat isinya hampir habis tak bersisa.
“Maafkan aku, Ayah.” Samosir memohon pada Toba.
“Dasar kau ini anak tidak berguna,” ucap Toba yang marah dan langsung berdiri sambil berkacak pinggang. “Pergilah kau, anak ikan! Pergi pada ibumu!”
Mendengar kemarahan dan serapah Toba maka Samosir segera berlari karena ketakutan. Sepanjang jalan Samosir terus menangis, berkali-kali ia mengusap air mata yang memeleh di pipinya. Ia tak mengerti dengan sebutan anak ikan yang sempat ditujukan kapadanya. Ia hanya tahu jika Samosir adalah anak dari ayah dan ibunya. Bukan anak ikan.
Ibu Samosir langsung melemparkan sapunya, ia sedang menyapu halaman namun terkejut melihat anaknya menangis dari kejauhan.
“Ada apa anakku, samosir?” tanya ibunya yang masih kaget melihat anak lelakinya menangis seperti ini. Kemudian ia memeluk Samosir supaya bisa menenangkannya.
“Ibu?” tanya Samosir yang akhirnya mau bicara pada ibunya. Ya, tangisnya sudah berhenti.
Iya, ada apa anakku?” tanya ibunya yang kemudian melepaskan pelukan untuk dapat meihat penjelasan anaknya Samosir.
“Apa benar aku ini anak ikan, Bu? bukankah aku ini anak Ayah dan Ibu?” tanya Samosir dengan polos.
Seketika ibu Samosir kaget dengan pertanyaan anaknya, “Siapa yang berani mengucapkan hal itu, Anakku?” tanya ibunya yang khawatir jika itu berasal dari suaminya.
“Aku sudah memakan bekal makan siang Ayah, sehingga Ayah memarahiku dan menyebutku seorang anak ikan,” ungkap Samosir yang menjelaskan kronologisnya.
Betapa kecewanya ibu Samosir melihat kenyataan yang paling ditakutkannya telah terjadi.
“Samosir, tidak bersalah jika sudah meminta maaf. Nanti biar Ibu yang jelaskan pada Ayah,” ujar ibu Samosir menenangkan. “Samosir itu anak Ayah dan Ibu, percayalah itu.”
“Benarkah itu, Bu?” tanya Samosir hendak memastikan.
“Iya, itu betul,” jawab ibunya. “Ibu sayang pada Samosir, sekarang ikuti perintah ibu ya,”
“Apa itu, Bu?” tanya Samosir penasaran.
“Samosir harus pergi ke bukit yang paling tinggi dan jangan pernah melihat ke belakang.” Ibunya meminta kepada anaknya Samosir.
“Baiklah, Bu. Samosir menyayangi Ibu.” Samosir mengikuti perintah ibunya.
“Tentusaja, Ibu juga menyayangimu,” ujar ibunya, “Pergilah sekarang juga. Lari!!”
Samosir segera berlari tanpa pernah melihat kembali ke arah belakang, menjauh dari pandangan ibunya dan semakin menjauh pergi. Bersamaan dengan sampainya Samosir di tempat paling tinggi di sebuah bukit. Maka terjadilah hujan yang besar mengguyur desanya. Sehingga terjadilah banjir yang amat dahsyat. Air semakin tinggi dan terus meninggi sampai mendekati tingginya bukit yang ditempati oleh Samosir sebagai tempat perlindungan.
Diceritakanlah bahwa air yang tetap menggenang desa di tempat tinggal Samosir itu diberi nama dengan sebutan danau Toba dan pulau yang tersisa sebagai tempat berlindunganya Samosir disebut sebagai pulau Samosir.
Pada akhirnya akan selalu ada harga yang harus dibayar mahal sebagai akibat dari sebuah pengkhianatan. Seperti ingkar janjinya seorang Toba kepada istrinya. Tak ada yang bisa diselamatkan, bahkan orang-orang tercinta sekalipun dari sebuah kehendak takdir yang datang secara tiba-tiba. Maka hilanglah sebuah peradaban dan terganti oleh sebuah perdaban lainnya.
Cinta akan tetap kuat, sekuat pemiliknya untuk tetap saling menggenggam. Namun cinta juga bisa pergi tanpa pamit, ketika sebuah pengkhianatan menggores sebuah janji setia.
Pesan Moral yang dapat kita peroleh tak lepas dari kesungguhan kita dalam menunaikan sebuah janji. Ya, seorang manusia sangat berharga melebihi apapun ketika ia mampu menjaga sebuah kepercayaan, kemudian tidak berniat untuk mengingkarinya suatu hari.
Dialah Toba, seorang pemuda dari tanah sumatera yang rajin bekerja. Desanya terkenal dengan lahan pertanian yang subur dan ladang yang luas. Sehingga setiap warga adalah petani dan sebagian telah menjadi juragan dan tengkulak atau bandar yang sering melakukan penjualan ke luar daerah.
Toba hidup seorang diri di rumahnya yang tidak begitu mewah akan tetapi layak untuk dihuni dengan nyaman. Ia selalu pergi saat hari baru saja dimulai pagi hari, bekerja seharian di ladang pertanian kemudian pulang menjelang sore hari. Kemudian segera memenuhi keperluannya sendiri seperti mandi dan memasak. Ya, ia menyiapkan segala sesuatunya sendiri tanpa dibantu orang lain.
Image by http://kumbercer.blogspot.com |
Memancing menjadi kegiatan Toba di sela-sela pergi ke ladang pertanian. Mencari ikan di sungai dijadikan sebagai pelarian dari rasa bosan pada rutinitas yang sama. Apalagi ia selalu dihadapkan pada pertanyaan warga desa, seperti tadi di perjalanan menuju ke sungai.
“Hai, Toba. Kau mau pergi kemana?” tanya Pak Sarai yang sedang mencangkul di ladangnya.
“Saya hendak ke sungai, Pak."
“Kapan lah kau ini hendak menikah, Toba?” tanya pak Sarai.
Toba hanya tersenyum hambar. “Memangnya kenapa Pak Sarai bertanya begitu?”
Pak Sarai kemudian melepas topi capingnya dan mengipasi diri sendiri. “Supaya kau punya teman di rumahmu itu. Lagi pula istrimu bisa kau bawa sekalian ke sungai, kamu mancing dia mencuci baju.”
Pak Sarai kemudian tertawa sembari hendak mencangkul lagi.
Toba juga tertawa, “Doakan saja, Pak. Semoga saya dapat segera punya istri seperti itu.”
Ya, Toba seperti masih mendengar nasihat pak Sarai. Mungkin ia akan semakin semangat bekerja jika seseorang telah menunggu kepulangannya di rumah, sembari menyiapkan makanan untuknya. Ya, mungkin itu yang akan Toba dapatkan jika ia memiliki pasangan hidup. Sekilas, ia menginginkannya.
***
Jika sedang tidak bekerja, maka seharian penuh ia gunakan hanya untuk memancing ikan di sungai. Ya, ia merasa sangat bosan melakukan hal yang sama berulang-ulang. Tak disadari jika Toba telah melakukan semua kegiatan ini semenjak ibunya pergi untuk selama-lamanya dengan penyakit keras. Sebuah penyakit yang akhirnya membuat Toba harus hidup seorang diri, tanpa kerabat atau sanak terdekat. Pada awalnya ia merasa frustasi, akan tetapi semuanya perlahan mulai bisa diterimanya dengan hati yang lapang.
Toba bisa melewati berbagai masa sulit seorang diri, tanpa kekurangan apapun di dalam hidupnya. Meski ia bukan seorang yang kaya, namun kehidupannya tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang miskin. Hal itu bisa terjadi padanya, berkat pelajaran dan nasihat yang diberikan kedua orangtuanya supaya bisa bekerja keras dengan benar. Sehingga ia menjadi diri yang kuat dan rajin bekerja. Terkadang Toba merasa sangat bersyukur dengan keadaannya saat ini, ia bisa hidup sendiri dengan mandiri.
Lamunannya seketika menjadi buyar, menghilang tak tentu arah. Ketika kail yang dipegangnya bergerak. Pertanda bahwa ada ikan terjebak oleh umpan yang dipasangnya. Maka sekuat tenaga, Toba menarik kail pancingnya. Kemudian muncullah seekor ikan emas yang besar keluar ke permukaan. Ia segera memasukkan ikan hasil tangkapannya ke dalam keranjang dengan perasaan yang bahagia. Tentusaja hal itu terjadi karena ikan sebesar itu bisa dijadikan lauk untuk beberapa hari ke depan. Akhirnya Toba segera pulang ke rumah dan tidak berniat untuk memancing ikan lagi. Ia merasa jika ikan yang ditangkapnya sudah lebih dari cukup.
***
Tibalah Toba di rumahnya yang selalu sepi tanpa penghuni. Ia segera membuka pintu dan menuju dapur. Toba menuju wadah yang berisi air untuk memasukkan ikan tangkapannya ke dalam wadah. Ya, kemudian ikan itu masih hidup dan bergerak lincah di dalam wadah. Toba akan segera memasak ikannya, maka ia menuju dapur untuk menyiapkan beberapa bumbu yang perlu dipersiapkan. Tak hanya itu, Toba segera menyalakan tungku supaya mempermudah kegiatan memasaknya. Hari ini spesial karena ikan yang ditangkap Toba berukuran sangat besar dan belum pernah ia dapatkan selama memancing di pinggir sungai.
Ketika bumbu dan tungku telah siap, maka Toba lekas kembali pada ikan yang disimpan di dalam wadah. Ia bermaksud untuk membersihkan ikan yang kemudian akan ia masak dengan bumbu yang sudah siap di dapurnya.
Akan tetapi Toba kaget karena ia terfokus pada wadah ikan yang sudah kosong. Kemudian ia lebih terkejut lagi ketika ikan yang ada di dalam wadah berganti dengan kepingan koin emas yang berkilauan. Toba sangat terkejut lagi dengan seorang perempuan cantik yang berdiri tidak jauh dari wadah ikannya.
“Wahai, Nona. Siapakah Anda ini?” tanya Toba yang kaget dengan keberadaan seorang perempuan di dalam rumahnya.
“Aku adalah orang yang kamu tolong tadi siang.” Perempuan itu menjawab dengan sopan, akan tetapi tetap saja Toba masih sangat bingung. Siapa yang menolong perempuan ini. Ia sama sekali tidak menolong seorang perempuan hari ini.
“Maaf, Nona. Mungkin Anda salah orang. Akan tetapi apakah Nona melihat ikan saya di wadah itu?” tanya Toba yang akhirnya tidak mampu menjawab, sehingga langsung bertanya tentang ikannya yang tiba-tiba hilang.
"Aku ikan yang kau tangkap itu, sekarang aku sudah berubah menjadi manusia," jawab perempuan itu.
“Apa maksudmu, Nona. Saya tidak memahaminya sedikitpun,” ujar Toba yang benar-benar tidak paham.
Akhirnya perempuan itu menceritakan bahwa dia adalah ikan yang dipancing Toba tadi siang. Sebenarnya ia telah dikutuk oleh seorang dukun sakti, karena telah menolak sebuah perjodohan. Sebuah perjodohan yang tidak disetujuinya, sehingga ia berontak. Akhirnya pihak pria yang ditolaknya meminta bantuan seorang dukun untuk mengutuknya menjadi seekor ikan. Kemudian tentang koin emas yang ada di dalam wadah adalah sisik ikan yang akan berubah menjadi emas jika perempuan itu berhasil untuk kembali menjadi manusia normal.
“Sehingga aku sangat berterima kasih padamu. Bahkan aku bersedia jika harus menjadi seorang istri di rumahmu ini,” ucap perempuan itu yang kemudian segera menebarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di sekitarnya.
Mendengar pernyataan itu maka seketika membuat Toba terkejut sekaligus bahagia. Ia merasa bahwa sang kuasa mengabulkan permintaannya tentang seorang pasangan hidup. Tentusaja ini bukan sebuah kebetulan semuanya akan tetapi Toba yakini sebagai takdir yang sangat indah.
Akan tetapi untuk sejenak Toba harus menghentikan kebahagiaanya. Ya, setelah Toba dan perempuan itu setuju untuk menjadi pasangan hidup ternyata ada satu permintaan yang harus Toba penuhi.
“Ada satu syarat yang harus Anda patuhi jika hendak menjadi suamiku.” Perempuan itu berkata sambil menatap Toba dengan terfokus.
“Apa itu?” tanya Toba yang akhirnya sangat penasaran. Perlahan tawa bahagianya berhenti sejenak. Ia khawatir jika itu adalah syarat yang sulit untuk diwujudkan.
“Anda tidak boleh sekalipun menyebut asal usulku sebagai seekor ikan, sebesar dan sekuat apapun anda sedang marah terhadap sesuatu di hari yang akan datang nanti.” Perempuan itu berujar tentang syaratnya. Sekilas itu adalah syarat yang mudah. “Jika tidak, maka aku tidak bisa melindungi siapapun untuk bisa selamat dari sebuah bencana besar.”
Toba berpikir sejenak tentang syarat perempuan itu, kemudian setuju dengan pasti ia berkata.”Baiklah, aku menyetujuinya.”
Kehidupan Toba telah berubah, tanpa kesepian yang selama ini menderanya. Ya, dia sudah memiliki istri yang sangat mencintainya sehingga membuat Toba semakin giat bekerja. Tak hanya itu, warga juga telah mengetahui jika pemuda di desanya bernama Toba telah memiliki pasangan hidup. Oh, entahlah bagaimana menjelaskan perasaan Toba saat ini. Sungguh sulit untuk dijelaskan. Toba dan istrinya bahagia untuk saat yang telah dilalui beberapa waktu berlalu.
Baca Juga : Cerita dongeng anak si malin kundang
***
Jadilah Danau Toba!—Berkat kebahagiaan rumah tangga Toba dan istrinya, maka secara perlahan Toba meraih apa yang diinginkannya. Ia memiliki beberapa bidang ladang dan kebun sekaligus, sehingga dapat mempekerjakan banyak buruh yang setia dengan pekerjaannya. Ya, kini hidup Toba semakin lengkap dan hampir sempurna. Apalagi ketidaksempurnaan itu telah ditutupi dengan baik oleh kehadiran seorang anak lelaki. Ya, pernikahan dengan sang istri akhirnya dapat meneruskan garis keturunannya. Anak Toba adalah seorang lelaki yang diberi nama tepat di hari dilahirkannya ke dunia.
Di tengah tangis bahagia antara Toba dan istrinya, Toba memberikan sebuah nama yang indah. “Anakku sayang, kuberi engkau nama Samosir!”
Samosir menambah kebahagiaan hidup seorang Toba yang tetap rajin bekerja. Keinginannya untuk mendapat pasangan dan seorang anak yang cerdas akhirnya terwujud di dalam kehidupannya.
Apalagi ladang pertanian yang dimiliki Toba semakin luas dari tahun ke tahun. Kehidupan keluarga Toba semakin berkembang dengan lebih baik. Tidak menutup kemungkinan, jika keluarga Toba menjadi salah satu keluarga yang tersohor di desanya.
***
Pada suatu hari Samosir terlibat sebuah perkelahian dengan anak lain dari tetangganya. Akan tetapi akhirnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Karena baik Samosir dan tetangganya itu sama-sama salah karena sudah berkelahi akibat sebuah kesalahpahaman dalam permainan anak-anak.
Toba memperingatkan Samosir supaya tidak menjadikan perkelahian sebagai pelampiasan. Tentusaja peringatan dari ayahnya itu telah menakuti Samosir. Sehingga membuatnya segera meminta maaf.
“Maafkan, Samosir Ayah!” ucap Samosir yang segera tertunduk lesu. “Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
“Apakah itu sebuah janji?” tanya Toba kepada anaknya.
“Tentusaja, Ayah.” Samosir dengan cepat memeluk ayahnya, pertanda bahwa ayahnya Toba sudah memaafkan kesalahan Samosir.
Samosir sudah bisa diandalkan oleh ayah dan ibunya. Ya, Samosir adalah orang yang bertugas untuk mengantarkan makan siang ayahnya di ladang.
“Samosir, anakku!” seru ibunya dari dapur.
Samosir segera menuju ke dapur setelah ibunya memanggil, ”iya, ada apa Ibu?”
“Kamu antarkan makan siang ini pada Ayahmu di ladang sana,” ucap ibu Samosir sembari menyerahkan rantang makan siang ke tangan Samosir.
“Baiklah, Ibu.” Samosir segera menyanggupi perintah ibunya.
“Sampaikan maaf Ibu. Katakan pada Ayahmu jika Ibu sedikit terlambat memasak sehingga hari sudah sangat siang untuk mengantar makanannya.” Ibu Samosir berpesan tentang keterlambatannya memasak makan siang untuk suaminya.
“Baiklah, Ibu. Samosir akan sampaikan.” Samosir kembali menyanggupi keinginan ibunya, “Samosir pergi dulu!”
“Baiklah, hati-hati di jalan anakku!” seru ibunya yang melihat Samosir semakin menjauh dari pandangannya.
***
Perjalanan yang cukup jauh harus ditempuh Samosir menuju ladang milik ayahnya. Terkadang ia harus beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ya, kini Samosir sedang berisitirahat sejenak di dekat pohon rindang dan memeluk bekal makan siang milik ayahnya.
Bekalnya masih hangat sehingga membuat Samosir penasaran dengan isi makan siang buatan ibunya. Ya, akhirnya Samosir menjadi lapar saat melihat isi makan siang ayahnya, sehingga tanpa basa-basi Samosir segera menyantap makanan yang hendak diantarkan kepada ayahnya, Toba.
Sekilas Samosir akhirnya sadar telah memakan hampir seluruh bekal milik ayahnya. Sehingga ia segera merapikan bekal itu kembali seperti sedia kala dan berlari menuju ladang. Pasti ayahnya sudah menunggu kedatangan Samosir dengan membawa bekal makan siangnya.
Sampailah Samosir di ladang milik ayahnya, terlihat Toba sudah menunggu di saung dekat ladang. Tentusaja membuat Samosir ketakutan sehingga hanya menunduk menuju ayahnya.
“Kemarilah, Samosir!” seru Toba dengan tatapan yang tajam.
“Baiklah, Ayah,” jawab Samosir yang melangkah penuh keraguan.
“Kenapa kamu datang terlambat?” tanya Toba.
“Maaf, Ayah. Aku beristirahat sebentar dan lupa telah memakan bakal siangmu.” Akhirnya Samosir menjawab dengan penuh ketakutan.
“Apa?” tanya Toba terkejut sekaligus marah. Ia segera mengambil paksa bungkusan makan siang dari tangan Samosir. Kemudian melemparkannya dengan keras, ia melihat isinya hampir habis tak bersisa.
“Maafkan aku, Ayah.” Samosir memohon pada Toba.
“Dasar kau ini anak tidak berguna,” ucap Toba yang marah dan langsung berdiri sambil berkacak pinggang. “Pergilah kau, anak ikan! Pergi pada ibumu!”
Mendengar kemarahan dan serapah Toba maka Samosir segera berlari karena ketakutan. Sepanjang jalan Samosir terus menangis, berkali-kali ia mengusap air mata yang memeleh di pipinya. Ia tak mengerti dengan sebutan anak ikan yang sempat ditujukan kapadanya. Ia hanya tahu jika Samosir adalah anak dari ayah dan ibunya. Bukan anak ikan.
***
Ibu Samosir langsung melemparkan sapunya, ia sedang menyapu halaman namun terkejut melihat anaknya menangis dari kejauhan.
“Ada apa anakku, samosir?” tanya ibunya yang masih kaget melihat anak lelakinya menangis seperti ini. Kemudian ia memeluk Samosir supaya bisa menenangkannya.
“Ibu?” tanya Samosir yang akhirnya mau bicara pada ibunya. Ya, tangisnya sudah berhenti.
Iya, ada apa anakku?” tanya ibunya yang kemudian melepaskan pelukan untuk dapat meihat penjelasan anaknya Samosir.
“Apa benar aku ini anak ikan, Bu? bukankah aku ini anak Ayah dan Ibu?” tanya Samosir dengan polos.
Seketika ibu Samosir kaget dengan pertanyaan anaknya, “Siapa yang berani mengucapkan hal itu, Anakku?” tanya ibunya yang khawatir jika itu berasal dari suaminya.
“Aku sudah memakan bekal makan siang Ayah, sehingga Ayah memarahiku dan menyebutku seorang anak ikan,” ungkap Samosir yang menjelaskan kronologisnya.
Betapa kecewanya ibu Samosir melihat kenyataan yang paling ditakutkannya telah terjadi.
“Samosir, tidak bersalah jika sudah meminta maaf. Nanti biar Ibu yang jelaskan pada Ayah,” ujar ibu Samosir menenangkan. “Samosir itu anak Ayah dan Ibu, percayalah itu.”
“Benarkah itu, Bu?” tanya Samosir hendak memastikan.
“Iya, itu betul,” jawab ibunya. “Ibu sayang pada Samosir, sekarang ikuti perintah ibu ya,”
“Apa itu, Bu?” tanya Samosir penasaran.
“Samosir harus pergi ke bukit yang paling tinggi dan jangan pernah melihat ke belakang.” Ibunya meminta kepada anaknya Samosir.
“Baiklah, Bu. Samosir menyayangi Ibu.” Samosir mengikuti perintah ibunya.
“Tentusaja, Ibu juga menyayangimu,” ujar ibunya, “Pergilah sekarang juga. Lari!!”
Samosir segera berlari tanpa pernah melihat kembali ke arah belakang, menjauh dari pandangan ibunya dan semakin menjauh pergi. Bersamaan dengan sampainya Samosir di tempat paling tinggi di sebuah bukit. Maka terjadilah hujan yang besar mengguyur desanya. Sehingga terjadilah banjir yang amat dahsyat. Air semakin tinggi dan terus meninggi sampai mendekati tingginya bukit yang ditempati oleh Samosir sebagai tempat perlindungan.
Diceritakanlah bahwa air yang tetap menggenang desa di tempat tinggal Samosir itu diberi nama dengan sebutan danau Toba dan pulau yang tersisa sebagai tempat berlindunganya Samosir disebut sebagai pulau Samosir.
Pada akhirnya akan selalu ada harga yang harus dibayar mahal sebagai akibat dari sebuah pengkhianatan. Seperti ingkar janjinya seorang Toba kepada istrinya. Tak ada yang bisa diselamatkan, bahkan orang-orang tercinta sekalipun dari sebuah kehendak takdir yang datang secara tiba-tiba. Maka hilanglah sebuah peradaban dan terganti oleh sebuah perdaban lainnya.
Cinta akan tetap kuat, sekuat pemiliknya untuk tetap saling menggenggam. Namun cinta juga bisa pergi tanpa pamit, ketika sebuah pengkhianatan menggores sebuah janji setia.
***
Selesai
Desiana P.
Belum ada Komentar untuk "Cerita Danau Toba dan ikan ajaib kisah legenda pulau samosir"
Posting Komentar