Dongeng Sebelum Tidur Binatang Bersama Tuan Unta dan Burung Jalak
Dongeng Sebelum Tidur Binatang Bersama Tuan Unta dan Burung Jalak
Daftar isi :
1. Kisah Unta dan Rubah di Gurun Sahara
2. Kisah Kerbau Malas dan Burung Jalak
Siapa yang tidak mengetahui gurun sahara, gurun yang luasnya bahkan melintasi banyak negara. Gurun berarti identik dengan hamparan padang pasir yang panas sepanjang mata memandang dan di sana tak mudah untuk menemukan sumber air. Sebagian mengira bahwa gurun pasir bukanlah tempat tinggal bagi setiap makhluk manapun yang ada di bumi.
Akan tetapi aku ingin segera menolaknya, buktinya aku dan tuanku bisa melewati gurun pasir sahara dengan keadaan yang sehat dan selamat. Aku sering melakukannya.
Perkenalkan, aku Unta Sahara yang sering melakukan berbagai macam ekspedisi dari satu negara ke negara lainnya. Tuanku selalu mengajak ikut serta dalam setiap perjalanan, yakni untuk menjual garam-garam batu ke pasar di negara tetangga. Ya, biasanya akan dijual kemudian diganti dengan membeli bahan makanan, tembikar dan beberapa helai pakaian baru. Kemudian saat aku kembali ke rumah, maka semuanya akan disambut keluarga Tuanku sembari langsung memberikan jerami-jerami kering di pintu utama. Mereka bersyukur karena kami bisa kembali selamat tanpa kehilangan arah untuk pulang.
Oh iya, Tuanku sangat cerdas ketika menentukan arah pulang dan pergi. Kamu tahu kan, gurun tidak memiliki rambu-rambu lalu lintas seperti di jalan raya. Dengan demikian, Tuanku hanya bermodal insting dan selalu berdo’a kepada Tuhan untuk diberi petunjuk yang lurus. Betul saja, kami tidak pernah sekalipun tersesat sehingga kami tidak sampai kehabisan persediaan makanan selama di perjalanan.
Harus kuberitahukan padamu juga bahwa aku selalu bersama kawan-kawan unta yang lain, mereka juga bersama Tuannya masing-masing. Biasanya mereka adalah keluarga besar, sehingga dengan demikian aku selalu mendengar istilah kafilah. Ya, rombongan unta dan para pemiliknya yang membawa banyak kebutuhan, lalu diletakkan di punggungku yang kokoh ini.
Bangsa Unta adalah makhluk yang kuat, kami tidak membutuhkan tutup kepala atau sehelai kain untuk menghalau teriknya matahari di gurun sahara yang panas. Kami hanya butuh air dan makanan yang cukup. Ya, sebisa mungkin kami tidak ingin merepotkan atau menambah beban Tuanku yang baik hati.
Sebelumnya aku belum diperbolehkan untuk melakukan sebuah ekspedisi, dikarenakan usiaku yang masih terlalu muda untuk pergi bersama rombongan kafilah. Sehingga aku harus menunggu dan bersabar untuk menunggu saat yang ditetapkan tiba. Aku segera memberi kabar gembira kepada ayah dan ibu, bahwa aku akan mengikuti ekspedisi pertama ke negeri yang bernama Maroko. Itulah sekilas tentang pengalaman pertamaku yang bahagia bisa menjadi bagian ekspedisi bersama Tuanku.
Setelah pengalaman pertama itu, akhirnya aku berhasil menemani setiap perjalanan Tuanku bersama keluarganya menyusuri gurun Sahara.
Suatu hari ketika rombongan beristirahat sejenak untuk minum di sebuah mata air, aku bertemu dengan hewan lainnya. Dia Rubah yang memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan ukuran rubah yang pernah aku lihat sebelumnya.
Aku sedang mendapatkan bagian minum bersama saudara-saudaraku setelah giliran Tuanku selesai untuk minum. Ya, Tuanku itu manusia yang baik. Bagaimana tidak, air yang sangat sedikit nyatanya cukup untuk diminum oleh seluruh rombongan.
Kemudian seekor rubah kecil menghampiri tempat minum kami. Tuanku menghampiri dan segera mengusap kepalaku sambil berkata,
“Unta baik, biarkan dia juga ikut minum bersamamu. Kita sama-sama kehausan, tidak baik jika engkau memarahinya,”
Sontak saja si Rubah yang awalnya bersiap untuk lari, kini terdiam melihat Tuanku kembali ke tempatnya. Kemudian aku segera minum.
“Hai, Rubah! Kenapa kamu tidak ikut bergabung bersama kami?” tanyaku yang melihat si Rubah berdiri tanpa bicara.
“Apakah boleh aku minum di sini?” tanya si Rubah untuk memastikan.
“Tentusaja, Tuanku yang menyuruhnya.” Aku kembali minum.
Kemudian si Rubah menghampiriku dan segera minum seperti yang lain. Rubah penasaran dengan sesuatu yang dilihatnya. “Hei, Tuan Unta apa...”
Belum juga Rubah melanjutkan pertanyaannya, aku segera memotongnya, “Wahai Rubah, bangsa kami tidak membolehkan kami untuk bicara ketika sedang makan atau minum. Jadi silakan kita minum, nanti kita lanjutkan.”
Kami bangsa Unta memerlukan air yang banyak dalam sekali minum, hal itu sudah bawaan lahir dan tidak bisa diubah sedikitpun. Lagipula aku merasa senang dengan diriku yang bisa minum dalam jumlah banyak, rasanya menyenangkan juga Tuanku tidak pernah marah padaku selama ini.
Kulihat Rubah sudah selesai minum sejak lama, dia menungguku hingga selesai untuk minum. Kemudian aku juga akan istirahat sejenak sebelum kembali untuk minum.
“Wahai, Rubah. Hal apa yang ingin kau tanyakan saat minum tadi?” tanyaku pada Rubah yang sedang menatap kosong ke arah Tuanku bersama keluarganya yang sedang mengadakan diskusi.
Seketika Rubah terkejut, “Hmm, aku hanya ingin katakan jika kamu beruntung memiliki Tuan sebaik dirinya.”
Ya, dalam satu kali pertemuan ternyata Rubah sudah mengetahui kearifan Tuanku yang bijaksana.
“Tentusaja, Rubah. Tuanku sangat menyayangi semua bangsa kita, apalagi para Unta-unta yang dimilikinya.” Aku menjelaskan kebaikan Tuanku yang tetap peduli pada setiap makhluk yang ditemukannya, baik ketika di dalam perjalanan atau ketika di rumahnya sendiri.
Rubah hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. “Lalu, kenapa Tuanmu dan saudara-saudaranya hanya minum sedikit saja?”
“Tentusaja sedikit, Rubah. Karena manusia seperti Tuanku memiliki perut yang kecil tidak sepertiku yang punya perut besar,” aku tertawa sambil menepuk perutku sendiri.”Tapi memang benar apa yang kamu ucapkan Rubah!”
“Tentang apa itu Unta?” tanya Rubah yang tidak mengerti.
“Tuanku terkadang minum sangat sedikit, mereka lebih mementingkan minum untuk kami para Untanya.” Aku menjawab pertanyaan Rubah.
“Mungkin itu bentuk kepeduliannya,” ucap Rubah yang perlahan mengerti.
“Kamu benar, Rubah.” Aku juga menyetujuinya. “Sebagai gantinya, maka Tuanku dan saudaranya akan duduk sepanjang hari bahkan hingga malam hari di atas punggungku. Kadang aku merasa kasihan, tapi jika tidak begitu maka kami tidak bisa kembali pulang.”
Rubah terkejut dengan perkataanku. Kemudian aku jelaskan kembali dengan istilah ditelan gurun pasir, maksudnya adalah tidak pernah kembali ke rumah bersama kafilahnya sendiri. Hal itu bisa saja terjadi salah satunya akibat kelaparan dan kehausan selama di perjalanan. Ya, itu sedikit menakutkan.
“Itulah mengapa setiap kami tiba ke rumah, kami akan disambut dengan bahagia oleh seluruh anggota keluarga.” Aku mengakhiri ceritanya dengan sedikit menguap. Ya, aku belum sempat tidur, rencananya kami akan tidur di penghentian berikutnya.
Kemudian Tuanku memberi isyarat kepada kafilah untuk melanjutkan perjalanan.
“Baiklah, Rubah aku harus pergi sekarang.” Aku segera bangkit, dibantu oleh Tuanku yang menarik tali di leherku.
“Apa aku boleh ikut bersamamu?” tanya Rubah seketika.
“Jangan, Rubah. Aku khawatir nasibmu tidak akan baik selama di perjalanan. Kamu harus tetap tinggal, tempat ini cukup hijau sehingga kamu akan baik-baik saja.” Aku memberinya saran untuk tetap tinggal. “Apa kamu percaya padaku Rubah?”
Rubah merasa tidak bersemangat, “Baiklah, aku percaya padamu.” Rubah menjawab seadanya.
“Aku pergi sekarang, sampai jumpa lagi!” Aku mengucapkan salam perpisahan pada Rubah.
Kemudian Rubah hanya melolongkan suaranya yang khas. Ya, itu salam perpisahan darinya dan aku yakin dia akan baik-baik saja di sana.
Aku kembali berjalan bersama kafilah, kudengar Tuanku sedang menyanyikan lagu tentang padang pasir. Rasanya aku ingin segera tidur bersama gurun sahara di malam hari.
Pesan Moral :
Kafilah Unta dan Tuannya itu mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah dalam melakukan sesuatu. Mereka yang berusaha akan menjadi pemenangnya. Kemudian jangan lupa untuk selalu menambah teman baru dimanapun kalian berada, seperti teman baru Tuan Unta yaitu Tuan Rubah
Baca Juga : Dongeng sebelum tidur seorang putri
Semua makhluk yang ada di bumi memiliki bentuk tubuh dan ukuran yang berbeda-beda. Mereka juga punya selera makanan yang berbeda pula, ada yang penyuka daging, rumput dan buah-buahan. Menurutku, apa yang ada di bumi adalah segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Yakni baik dan layak untuk dimakan, diminum dan dipakai.
Aku bisa melihat dunia ini lebih jelas setiap hari, tak seperti teman-temanku yang lain. Mereka tidak bisa melakukannya. Ya, aku punya sayap yang bisa terbang jauh dan tinggi sekalipun, namun tidak sampai menyentuh langit. Karena menurutku, langit itu tidak berujung. Akan tetapi aku juga punya kelemahan yang sangat besar, yaitu ketidakmampuan untuk bisa membawa sesuatu yang lebih besar dari ukuran tubuhku sendiri. Ya, aku akan terjatuh dan bahkan tersungkur ke tanah. Memang aturan itu sudah diberikan oleh semua ketua adat, bahwa mereka melarang setiap makhluk sepertiku untuk membawa beban yang lebih berat.
Perkenalkan aku Si Jalak, burung kecil yang bisa terbang kemana saja sesuka hati. Akan tetapi aku tidak pernah sekalipun untuk terbang lebih jauh. Hal itu karena aku tidak bisa meninggalkan sahabatku Si makhluk besar yang tidak bisa terbang, dia Si Kerbau.
Hari masih pagi dan burung lain barusaja bangun dari tidur malamnya, aku segera keluar dari kamar menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Setelah itu aku akan pergi memasak sarapan sendiri. Ya, aku hanya tinggal sendiri saja. Aturan yang berlaku di jajaran bangsa Jalak adalah mereka harus mandiri dengan membangun sarang sendiri, supaya bisa dijadikan rumah untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing. Sesekali aku juga masih mengunjungi rumah ayah dan ibu di perkampungan jalak lainnya. Mereka selalu memberi makanan supaya bisa dijadikan persediaan makanan di rumahku sendiri.
Kemudian aku segera keluar sarang dan melihat keadaan sekitar yang masih sepi-sepi saja. Ya, pasti temanku si Kerbau masih tidur di rumahnya yang dekat padang rumput. Aku akan menemuinya, bisa saja dia masih tidur dan akan kesiangan untuk makan di padang rumputnya.
Benar saja, kudengar dia masih mendengkur di balik semak rumahnya. Kemudian aku segera masuk dan melihat si Kerbau masih tidur pulas di pagi hari.
“Hai, Kerbau. Bangun, bangun!” Aku mengguncangkan tubuhnya berkali-kali. “Hari sudah siang!”
“Hmm,” jawab si Kerbau yang belum ingin bangun. Dia langsung balik badan, seolah tidak ingin tidurnya menjadi terganggu sama sekali.
“Hai, pemalas! Cepat bangun sekarang juga.” Aku tidak bisa membiarkannya menjadi sangat malas seperti ini.
“Aku akan bangun sebentar lagi, Jalak." Dia menjawab bahwa si Kerbau masih mengantuk.
Aku sudah menyerah untuk membangunkannya, kemudian segera pergi dan keluar dari rumahnya yang berisik oleh suara dengkurannya yang keras dan nyaring di telinga.
Aku bisa melihat kawanan kerbau-kerbau yang sudah merumput di padang rumput sedari pagi, entahlah biasanya mereka tidak melakukannya sepagi ini. Aku akan menghampiri mereka yang sedang makan pagi di padang rumput, mungkinsaja akan memperoleh informasi yang berguna.
Aku tidak sengaja mendengar percakapan beberapa kerbau yang bicara di sela-sela makan. Kudengar jika mereka harus makan banyak untuk perbekalan yang panjang. Kemudian aku mencari kerbau lain yang bisa diajak bicara. Beberapa saat kemudian aku menemukannya.
“Wahai Nyonya Kerbau, bolehkah aku hinggap di punggungmu?” tanyaku yang masih mengepak-ngepak sayap di hadapan Nyonya Kerbau yang sedang mengunyah makanannya.
“Tentusaja silakan, berat badanmu tak seberat aku, kan?” dia tertawa sendiri. Rupanya Nyonya Kerbau ini suka bercanda juga.
Akupun tertawa sembari langsung hinggap di punggungnya yang bidang. Kemudian memperhatikan semua kerbau yang masih makan rumput dengan tekun.
“Nyonya Kerbau, bolehkah aku bertanya?” tanyaku penasaran dengan aktivitas para kerbau yang makan sepagi ini.
“Boleh, tanyakan saja.” Nyonya Kerbau menjawab sambil kembali menyantap rumput segarnya.
“Kenapa semua para Kerbau sudah bangun dan makan rumput sepagi ini, Nyonya?” tanyaku yang memang sangat penasaran. Tak biasanya ini terjadi, maka ini bisa dibilang keanehan pertama dari para Kerbau sejak aku mengenal kawanan mereka beberapa bulan yang lalu.
“Oh itu, kemarin kami mendapat kabar dari daerah lain. Mereka dari para petugas keamanan datang pada kami.” Nyonya Kerbau menghentikan kunyahannya untuk sementara waktu.
Nyonya Kerbau menceritakan bahwa pergantian musim akan diganti esok hari. Petugas keamanan mengabarkan bahwa saat ini musim tidak bisa diperkirakan pergantiannya. Hal itu terjadi akibat pemanasan global yang terjadi di seluruh belahan bumi, mengakibatkan tidak menentunya pergantian musim sehingga semua makhluk harus siap setiap saat untuk melakukan migrasi. Tempat yang sedang dipijaknya hari ini akan bersalju esok hari. Sehingga mereka para kerbau harus pindah untuk mencari tempat yang lebih hangat.
Mereka kawanan kerbau tidak terbiasa dengan cuaca dingin, bisa saja mereka tidak akan bisa bertahan hidup dengan cuaca dingin. Sehingga mereka harus makan banyak supaya cukup sebagai perbekalan selama di perjalanan.
Akhirnya aku mengerti tujuan para kerbau untuk makan sedari pagi.
“Kapan kalian akan berangkat, Nyonya?” tanyaku lagi untuk memastikan.
“Hmm, sekitar tiga jam lagi.” Nyonya Kerbau menjawab sebelum melanjutkan makannya.
Aku tidak ingin bertanya kembali, mereka harus cukup banyak makan rumput untuk menyuplai tenaga. Ya, mereka akan migrasi dan itu adalah perjalanan yang cukup jauh.
Aku segera kembali ke dalam sarang untuk beristirahat setelah berpamitan dengan Nyonya Kerbau yang masih merumput di bawah sana.
Aku tidak bisa membayangkan akan hidup di musim dingin tanpa ditemani teman-teman kerbaunya yang besar. Ya, ini adalah kebudayaan setiap tahun, dimana kerbau akan migrasi dan akan kembali ke tempat semula tidak kurang dari enam bulan kemudian. Daripada memikirkan nasibku di musim dingin lebih baik aku beristirahat saja.
Tok tok!
Suara pintu sedang diketuk dari luar. Aku kembali bangun dari pembaringan dengan malas menuju pintu depan. Kemudian segera membuka pintu.
“Maaf Tuan Jalak, saya mengganggu waktu anda,” ucap petugas keamanan yang biasa berjaga di kawasan Jalak.
“Tentu tidak Tuan, hal apa yang membuat anda datang ke rumah saya?" tanyaku yang penasaran.
“Saya hanya ingin menyampaikan informasi bahwa anda harus ikut migrasi hari ini juga. Musim dingin kali ini sangat ekstrim, sehingga bisa merusak bangsa kita.” Petugas keamanan menjelaskan dengan lebih detail kepadaku.
“Baiklah jika seperti itu keadaannya. Tapi bagaimana kami akan tinggal di tempat baru nanti?” tanyaku yang khawatir tidak punya tempat tinggal di tempat baru.
“Soal itu anda tidak perlu khawatir, sebab kami sudah menyiapkan rumah baru di sana. Jadi anda tinggal berangkat migrasi dengan membawa perbekalan yang cukup.” Petugas keamanan memberi saran kepadaku.
“Baiklah, aku akan segera bersiap untuk berkemas,” ucapku pada petugas keaaman yang kini telah pergi menuju rumah yang lain.
Migrasi menjadi pengalaman pertama yang menyenangkan, kami Bangsa Jalak pergi migrasi sekitar dua jam setelah Bangsa Kerbau pergi terlebih dahulu. Kami menggunakan jalur udara. Ya, kami menggunakan kedua sayap untuk terbang dan mengejar ketertinggalan sebelum musim dingin ekstrim tiba di belakang kami.
Kami beristirahat untuk sejenak di dahan pohon besar. Kami membuka perbekalan untuk sekedar mengisi tenaga kembali. Saat itulah aku baru ingat dengan temanku Si Kerbau yang masih tidur tadi pagi. Apakah dia masih tidur atau ikut dengan rombongan kerbau lainnya? Aku tidak tahu bagaimana nasibnya hari ini. semoga dia baik-baik saja.
“Ayo, semuanya kita harus kembali bergerak ke selatan!” seru ketua yang segera terbang lebih dulu, kemudian disusul oleh ribuan kepakkan sayap lainnya. Kami melanjutkan perjalanan.
Terdengar percakapan dari burung jalak lain yang membuatku sedih, “Kudengar ada seekor Kerbau yang masih tertidur di rumahnya. Semoga dia baik-baik saja.”
Daftar isi :
1. Kisah Unta dan Rubah di Gurun Sahara
2. Kisah Kerbau Malas dan Burung Jalak
1. Kisah Unta dan Rubah di Gurun Sahara
|
Siapa yang tidak mengetahui gurun sahara, gurun yang luasnya bahkan melintasi banyak negara. Gurun berarti identik dengan hamparan padang pasir yang panas sepanjang mata memandang dan di sana tak mudah untuk menemukan sumber air. Sebagian mengira bahwa gurun pasir bukanlah tempat tinggal bagi setiap makhluk manapun yang ada di bumi.
Akan tetapi aku ingin segera menolaknya, buktinya aku dan tuanku bisa melewati gurun pasir sahara dengan keadaan yang sehat dan selamat. Aku sering melakukannya.
***
Perkenalkan, aku Unta Sahara yang sering melakukan berbagai macam ekspedisi dari satu negara ke negara lainnya. Tuanku selalu mengajak ikut serta dalam setiap perjalanan, yakni untuk menjual garam-garam batu ke pasar di negara tetangga. Ya, biasanya akan dijual kemudian diganti dengan membeli bahan makanan, tembikar dan beberapa helai pakaian baru. Kemudian saat aku kembali ke rumah, maka semuanya akan disambut keluarga Tuanku sembari langsung memberikan jerami-jerami kering di pintu utama. Mereka bersyukur karena kami bisa kembali selamat tanpa kehilangan arah untuk pulang.
Oh iya, Tuanku sangat cerdas ketika menentukan arah pulang dan pergi. Kamu tahu kan, gurun tidak memiliki rambu-rambu lalu lintas seperti di jalan raya. Dengan demikian, Tuanku hanya bermodal insting dan selalu berdo’a kepada Tuhan untuk diberi petunjuk yang lurus. Betul saja, kami tidak pernah sekalipun tersesat sehingga kami tidak sampai kehabisan persediaan makanan selama di perjalanan.
Harus kuberitahukan padamu juga bahwa aku selalu bersama kawan-kawan unta yang lain, mereka juga bersama Tuannya masing-masing. Biasanya mereka adalah keluarga besar, sehingga dengan demikian aku selalu mendengar istilah kafilah. Ya, rombongan unta dan para pemiliknya yang membawa banyak kebutuhan, lalu diletakkan di punggungku yang kokoh ini.
Bangsa Unta adalah makhluk yang kuat, kami tidak membutuhkan tutup kepala atau sehelai kain untuk menghalau teriknya matahari di gurun sahara yang panas. Kami hanya butuh air dan makanan yang cukup. Ya, sebisa mungkin kami tidak ingin merepotkan atau menambah beban Tuanku yang baik hati.
Sebelumnya aku belum diperbolehkan untuk melakukan sebuah ekspedisi, dikarenakan usiaku yang masih terlalu muda untuk pergi bersama rombongan kafilah. Sehingga aku harus menunggu dan bersabar untuk menunggu saat yang ditetapkan tiba. Aku segera memberi kabar gembira kepada ayah dan ibu, bahwa aku akan mengikuti ekspedisi pertama ke negeri yang bernama Maroko. Itulah sekilas tentang pengalaman pertamaku yang bahagia bisa menjadi bagian ekspedisi bersama Tuanku.
Setelah pengalaman pertama itu, akhirnya aku berhasil menemani setiap perjalanan Tuanku bersama keluarganya menyusuri gurun Sahara.
***
Suatu hari ketika rombongan beristirahat sejenak untuk minum di sebuah mata air, aku bertemu dengan hewan lainnya. Dia Rubah yang memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan ukuran rubah yang pernah aku lihat sebelumnya.
Aku sedang mendapatkan bagian minum bersama saudara-saudaraku setelah giliran Tuanku selesai untuk minum. Ya, Tuanku itu manusia yang baik. Bagaimana tidak, air yang sangat sedikit nyatanya cukup untuk diminum oleh seluruh rombongan.
Kemudian seekor rubah kecil menghampiri tempat minum kami. Tuanku menghampiri dan segera mengusap kepalaku sambil berkata,
“Unta baik, biarkan dia juga ikut minum bersamamu. Kita sama-sama kehausan, tidak baik jika engkau memarahinya,”
Sontak saja si Rubah yang awalnya bersiap untuk lari, kini terdiam melihat Tuanku kembali ke tempatnya. Kemudian aku segera minum.
“Hai, Rubah! Kenapa kamu tidak ikut bergabung bersama kami?” tanyaku yang melihat si Rubah berdiri tanpa bicara.
“Apakah boleh aku minum di sini?” tanya si Rubah untuk memastikan.
“Tentusaja, Tuanku yang menyuruhnya.” Aku kembali minum.
Kemudian si Rubah menghampiriku dan segera minum seperti yang lain. Rubah penasaran dengan sesuatu yang dilihatnya. “Hei, Tuan Unta apa...”
Belum juga Rubah melanjutkan pertanyaannya, aku segera memotongnya, “Wahai Rubah, bangsa kami tidak membolehkan kami untuk bicara ketika sedang makan atau minum. Jadi silakan kita minum, nanti kita lanjutkan.”
***
Kami bangsa Unta memerlukan air yang banyak dalam sekali minum, hal itu sudah bawaan lahir dan tidak bisa diubah sedikitpun. Lagipula aku merasa senang dengan diriku yang bisa minum dalam jumlah banyak, rasanya menyenangkan juga Tuanku tidak pernah marah padaku selama ini.
Kulihat Rubah sudah selesai minum sejak lama, dia menungguku hingga selesai untuk minum. Kemudian aku juga akan istirahat sejenak sebelum kembali untuk minum.
“Wahai, Rubah. Hal apa yang ingin kau tanyakan saat minum tadi?” tanyaku pada Rubah yang sedang menatap kosong ke arah Tuanku bersama keluarganya yang sedang mengadakan diskusi.
Seketika Rubah terkejut, “Hmm, aku hanya ingin katakan jika kamu beruntung memiliki Tuan sebaik dirinya.”
Ya, dalam satu kali pertemuan ternyata Rubah sudah mengetahui kearifan Tuanku yang bijaksana.
“Tentusaja, Rubah. Tuanku sangat menyayangi semua bangsa kita, apalagi para Unta-unta yang dimilikinya.” Aku menjelaskan kebaikan Tuanku yang tetap peduli pada setiap makhluk yang ditemukannya, baik ketika di dalam perjalanan atau ketika di rumahnya sendiri.
Rubah hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. “Lalu, kenapa Tuanmu dan saudara-saudaranya hanya minum sedikit saja?”
“Tentusaja sedikit, Rubah. Karena manusia seperti Tuanku memiliki perut yang kecil tidak sepertiku yang punya perut besar,” aku tertawa sambil menepuk perutku sendiri.”Tapi memang benar apa yang kamu ucapkan Rubah!”
“Tentang apa itu Unta?” tanya Rubah yang tidak mengerti.
“Tuanku terkadang minum sangat sedikit, mereka lebih mementingkan minum untuk kami para Untanya.” Aku menjawab pertanyaan Rubah.
“Mungkin itu bentuk kepeduliannya,” ucap Rubah yang perlahan mengerti.
“Kamu benar, Rubah.” Aku juga menyetujuinya. “Sebagai gantinya, maka Tuanku dan saudaranya akan duduk sepanjang hari bahkan hingga malam hari di atas punggungku. Kadang aku merasa kasihan, tapi jika tidak begitu maka kami tidak bisa kembali pulang.”
Rubah terkejut dengan perkataanku. Kemudian aku jelaskan kembali dengan istilah ditelan gurun pasir, maksudnya adalah tidak pernah kembali ke rumah bersama kafilahnya sendiri. Hal itu bisa saja terjadi salah satunya akibat kelaparan dan kehausan selama di perjalanan. Ya, itu sedikit menakutkan.
“Itulah mengapa setiap kami tiba ke rumah, kami akan disambut dengan bahagia oleh seluruh anggota keluarga.” Aku mengakhiri ceritanya dengan sedikit menguap. Ya, aku belum sempat tidur, rencananya kami akan tidur di penghentian berikutnya.
Kemudian Tuanku memberi isyarat kepada kafilah untuk melanjutkan perjalanan.
“Baiklah, Rubah aku harus pergi sekarang.” Aku segera bangkit, dibantu oleh Tuanku yang menarik tali di leherku.
“Apa aku boleh ikut bersamamu?” tanya Rubah seketika.
“Jangan, Rubah. Aku khawatir nasibmu tidak akan baik selama di perjalanan. Kamu harus tetap tinggal, tempat ini cukup hijau sehingga kamu akan baik-baik saja.” Aku memberinya saran untuk tetap tinggal. “Apa kamu percaya padaku Rubah?”
Rubah merasa tidak bersemangat, “Baiklah, aku percaya padamu.” Rubah menjawab seadanya.
“Aku pergi sekarang, sampai jumpa lagi!” Aku mengucapkan salam perpisahan pada Rubah.
Kemudian Rubah hanya melolongkan suaranya yang khas. Ya, itu salam perpisahan darinya dan aku yakin dia akan baik-baik saja di sana.
Aku kembali berjalan bersama kafilah, kudengar Tuanku sedang menyanyikan lagu tentang padang pasir. Rasanya aku ingin segera tidur bersama gurun sahara di malam hari.
Tamat
Pesan Moral :
Kafilah Unta dan Tuannya itu mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah dalam melakukan sesuatu. Mereka yang berusaha akan menjadi pemenangnya. Kemudian jangan lupa untuk selalu menambah teman baru dimanapun kalian berada, seperti teman baru Tuan Unta yaitu Tuan Rubah
Baca Juga : Dongeng sebelum tidur seorang putri
2. Kisah Kerbau Malas dan Burung Jalak
Sumber gambar : Biokell blog |
Semua makhluk yang ada di bumi memiliki bentuk tubuh dan ukuran yang berbeda-beda. Mereka juga punya selera makanan yang berbeda pula, ada yang penyuka daging, rumput dan buah-buahan. Menurutku, apa yang ada di bumi adalah segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Yakni baik dan layak untuk dimakan, diminum dan dipakai.
Aku bisa melihat dunia ini lebih jelas setiap hari, tak seperti teman-temanku yang lain. Mereka tidak bisa melakukannya. Ya, aku punya sayap yang bisa terbang jauh dan tinggi sekalipun, namun tidak sampai menyentuh langit. Karena menurutku, langit itu tidak berujung. Akan tetapi aku juga punya kelemahan yang sangat besar, yaitu ketidakmampuan untuk bisa membawa sesuatu yang lebih besar dari ukuran tubuhku sendiri. Ya, aku akan terjatuh dan bahkan tersungkur ke tanah. Memang aturan itu sudah diberikan oleh semua ketua adat, bahwa mereka melarang setiap makhluk sepertiku untuk membawa beban yang lebih berat.
***
Perkenalkan aku Si Jalak, burung kecil yang bisa terbang kemana saja sesuka hati. Akan tetapi aku tidak pernah sekalipun untuk terbang lebih jauh. Hal itu karena aku tidak bisa meninggalkan sahabatku Si makhluk besar yang tidak bisa terbang, dia Si Kerbau.
Hari masih pagi dan burung lain barusaja bangun dari tidur malamnya, aku segera keluar dari kamar menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Setelah itu aku akan pergi memasak sarapan sendiri. Ya, aku hanya tinggal sendiri saja. Aturan yang berlaku di jajaran bangsa Jalak adalah mereka harus mandiri dengan membangun sarang sendiri, supaya bisa dijadikan rumah untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing. Sesekali aku juga masih mengunjungi rumah ayah dan ibu di perkampungan jalak lainnya. Mereka selalu memberi makanan supaya bisa dijadikan persediaan makanan di rumahku sendiri.
Kemudian aku segera keluar sarang dan melihat keadaan sekitar yang masih sepi-sepi saja. Ya, pasti temanku si Kerbau masih tidur di rumahnya yang dekat padang rumput. Aku akan menemuinya, bisa saja dia masih tidur dan akan kesiangan untuk makan di padang rumputnya.
Benar saja, kudengar dia masih mendengkur di balik semak rumahnya. Kemudian aku segera masuk dan melihat si Kerbau masih tidur pulas di pagi hari.
“Hai, Kerbau. Bangun, bangun!” Aku mengguncangkan tubuhnya berkali-kali. “Hari sudah siang!”
“Hmm,” jawab si Kerbau yang belum ingin bangun. Dia langsung balik badan, seolah tidak ingin tidurnya menjadi terganggu sama sekali.
“Hai, pemalas! Cepat bangun sekarang juga.” Aku tidak bisa membiarkannya menjadi sangat malas seperti ini.
“Aku akan bangun sebentar lagi, Jalak." Dia menjawab bahwa si Kerbau masih mengantuk.
Aku sudah menyerah untuk membangunkannya, kemudian segera pergi dan keluar dari rumahnya yang berisik oleh suara dengkurannya yang keras dan nyaring di telinga.
Aku bisa melihat kawanan kerbau-kerbau yang sudah merumput di padang rumput sedari pagi, entahlah biasanya mereka tidak melakukannya sepagi ini. Aku akan menghampiri mereka yang sedang makan pagi di padang rumput, mungkinsaja akan memperoleh informasi yang berguna.
***
Aku tidak sengaja mendengar percakapan beberapa kerbau yang bicara di sela-sela makan. Kudengar jika mereka harus makan banyak untuk perbekalan yang panjang. Kemudian aku mencari kerbau lain yang bisa diajak bicara. Beberapa saat kemudian aku menemukannya.
“Wahai Nyonya Kerbau, bolehkah aku hinggap di punggungmu?” tanyaku yang masih mengepak-ngepak sayap di hadapan Nyonya Kerbau yang sedang mengunyah makanannya.
“Tentusaja silakan, berat badanmu tak seberat aku, kan?” dia tertawa sendiri. Rupanya Nyonya Kerbau ini suka bercanda juga.
Akupun tertawa sembari langsung hinggap di punggungnya yang bidang. Kemudian memperhatikan semua kerbau yang masih makan rumput dengan tekun.
“Nyonya Kerbau, bolehkah aku bertanya?” tanyaku penasaran dengan aktivitas para kerbau yang makan sepagi ini.
“Boleh, tanyakan saja.” Nyonya Kerbau menjawab sambil kembali menyantap rumput segarnya.
“Kenapa semua para Kerbau sudah bangun dan makan rumput sepagi ini, Nyonya?” tanyaku yang memang sangat penasaran. Tak biasanya ini terjadi, maka ini bisa dibilang keanehan pertama dari para Kerbau sejak aku mengenal kawanan mereka beberapa bulan yang lalu.
“Oh itu, kemarin kami mendapat kabar dari daerah lain. Mereka dari para petugas keamanan datang pada kami.” Nyonya Kerbau menghentikan kunyahannya untuk sementara waktu.
Nyonya Kerbau menceritakan bahwa pergantian musim akan diganti esok hari. Petugas keamanan mengabarkan bahwa saat ini musim tidak bisa diperkirakan pergantiannya. Hal itu terjadi akibat pemanasan global yang terjadi di seluruh belahan bumi, mengakibatkan tidak menentunya pergantian musim sehingga semua makhluk harus siap setiap saat untuk melakukan migrasi. Tempat yang sedang dipijaknya hari ini akan bersalju esok hari. Sehingga mereka para kerbau harus pindah untuk mencari tempat yang lebih hangat.
Mereka kawanan kerbau tidak terbiasa dengan cuaca dingin, bisa saja mereka tidak akan bisa bertahan hidup dengan cuaca dingin. Sehingga mereka harus makan banyak supaya cukup sebagai perbekalan selama di perjalanan.
Akhirnya aku mengerti tujuan para kerbau untuk makan sedari pagi.
“Kapan kalian akan berangkat, Nyonya?” tanyaku lagi untuk memastikan.
“Hmm, sekitar tiga jam lagi.” Nyonya Kerbau menjawab sebelum melanjutkan makannya.
Aku tidak ingin bertanya kembali, mereka harus cukup banyak makan rumput untuk menyuplai tenaga. Ya, mereka akan migrasi dan itu adalah perjalanan yang cukup jauh.
***
Aku segera kembali ke dalam sarang untuk beristirahat setelah berpamitan dengan Nyonya Kerbau yang masih merumput di bawah sana.
Aku tidak bisa membayangkan akan hidup di musim dingin tanpa ditemani teman-teman kerbaunya yang besar. Ya, ini adalah kebudayaan setiap tahun, dimana kerbau akan migrasi dan akan kembali ke tempat semula tidak kurang dari enam bulan kemudian. Daripada memikirkan nasibku di musim dingin lebih baik aku beristirahat saja.
Tok tok!
Suara pintu sedang diketuk dari luar. Aku kembali bangun dari pembaringan dengan malas menuju pintu depan. Kemudian segera membuka pintu.
“Maaf Tuan Jalak, saya mengganggu waktu anda,” ucap petugas keamanan yang biasa berjaga di kawasan Jalak.
“Tentu tidak Tuan, hal apa yang membuat anda datang ke rumah saya?" tanyaku yang penasaran.
“Saya hanya ingin menyampaikan informasi bahwa anda harus ikut migrasi hari ini juga. Musim dingin kali ini sangat ekstrim, sehingga bisa merusak bangsa kita.” Petugas keamanan menjelaskan dengan lebih detail kepadaku.
“Baiklah jika seperti itu keadaannya. Tapi bagaimana kami akan tinggal di tempat baru nanti?” tanyaku yang khawatir tidak punya tempat tinggal di tempat baru.
“Soal itu anda tidak perlu khawatir, sebab kami sudah menyiapkan rumah baru di sana. Jadi anda tinggal berangkat migrasi dengan membawa perbekalan yang cukup.” Petugas keamanan memberi saran kepadaku.
“Baiklah, aku akan segera bersiap untuk berkemas,” ucapku pada petugas keaaman yang kini telah pergi menuju rumah yang lain.
***
Migrasi menjadi pengalaman pertama yang menyenangkan, kami Bangsa Jalak pergi migrasi sekitar dua jam setelah Bangsa Kerbau pergi terlebih dahulu. Kami menggunakan jalur udara. Ya, kami menggunakan kedua sayap untuk terbang dan mengejar ketertinggalan sebelum musim dingin ekstrim tiba di belakang kami.
Kami beristirahat untuk sejenak di dahan pohon besar. Kami membuka perbekalan untuk sekedar mengisi tenaga kembali. Saat itulah aku baru ingat dengan temanku Si Kerbau yang masih tidur tadi pagi. Apakah dia masih tidur atau ikut dengan rombongan kerbau lainnya? Aku tidak tahu bagaimana nasibnya hari ini. semoga dia baik-baik saja.
“Ayo, semuanya kita harus kembali bergerak ke selatan!” seru ketua yang segera terbang lebih dulu, kemudian disusul oleh ribuan kepakkan sayap lainnya. Kami melanjutkan perjalanan.
Terdengar percakapan dari burung jalak lain yang membuatku sedih, “Kudengar ada seekor Kerbau yang masih tertidur di rumahnya. Semoga dia baik-baik saja.”
Tamat
Pesan Moral:
Burung Jalak hendak memberimu pesan bahwa kita harus terbiasa bangun pagi dan pergi sarapan. Semua itu baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup kita. Tentusaja kita tak ingin bernasib seperti si Kerbau yang ketinggalan bermigrasi.
Desiana P
Belum ada Komentar untuk "Dongeng Sebelum Tidur Binatang Bersama Tuan Unta dan Burung Jalak"
Posting Komentar