Cerita Lucu Kisah Singkat tapi bikin ngakak Cerpen Update
Daftar isi Cerita Pendek Lucu :
1. Kisah Si Kabayan dan Buah Nangka
2. Kisah Kakek Haji dan Kopiah yang Hilang
1. Kisah Si Kabayan dan Buah Nangka
Suatu hari di pagi yang baru memunculkan matahari dari balik pegunungan nan hijau di ujung pandang. Ya, sebuah desa yang masih asri, dimana sebagian pekerjaan warga adalah menjadi seorang petani. Mereka mengolah berbagai tanaman seperti berbagai jenis padi dan palawija. Hasil pertanian itu biasa dibagi menjadi dua bagian. Sebagian akan dijual dan sebagian akan dikonsumsi sembari menunggu musim panen selanjutnya.
Desa asri itu menjadi tempat tinggal Kabayan bersama orangtuanya yang rajin bekerja sebagai petani seperti yang lainnya. Setiap warga yang hidup di desa itu adalah orang-orang yang rajin bekerja, mereka berangkat pagi dan pulang sore dari ladang pertanian. Hal tersebut dilakukan terus-menerus dari satu musim panen ke musim panen selanjutnya. Setiap anak kecil yang berasal dari desa tersebut akan berangkat sekolah di pagi hari dan akan bermain setelah pulang sekolah. Banyak permainan yang sering mereka lakukan, seperti bermain gasing kayu, tembak-tembakan dan mandi di sungai. Penduduk desa sudah melek pendidikan meskipun mereka adalah petani desa.
Dibalik keindahan desa yang hijau dan asri kemudian anak-anak kecil yang bermain di sungai. Terdapat satu keadaan berbalik dari semuanya, hal iitu datang dari seorang pemuda yang bernama Kabayan. Dia adalah anak satu-satunya dari Emak dan Abahnya. Begitulah panggilan yang sering iya gunakan untuk menyebut ayah dan ibunya.
Kabayan memiliki kepribadian yang berbeda dengan pemuda lain yang ada di desanya. Dia tidak suka membantu Abahnya untuk bekerja di ladang atau sawah, menggunakan berbagai alasan untuk menolaknya. Di sisi lain sosok Emak yang bertindak sebagai pelindungnya dari amarah Abah. Ya, Emak yang memanjakan Kabayan sehingga menjadi pribadi yang susah diatur. Begitulah anggapan Abah untuk kesekiankalinya. Seperti hari ini Abah kembali membahas hal yang sama.
“Ini semua salah Emak yang terlalu memanjakan anak seperti dia,” ujar Abah sambil menunjuk si Kabayan yang berada di belakang punggung Emaknya.
“Ya, sudah Bah. Jangan marah-marah, lagipula ini Cuma gara-gara buah nangka.” Emak selalu menjadi pihak yang menyelesaikan perdebatan Abah yang selalu memarahi Kabayan yang malas.
“Sekarang kamu harus ikuti perintah Abah, Kabayan.”
Kabayan terkejut ketika Emak memintanya untuk melakukan permintaan Abah. Biasanya Kabayan selalu berhasil membujuk Emak, tapi sepertinya hari ini dia gagal melakukannya.
Kabayan merasa tertantang untuk melakukan permintaan Abah yakni mengambil buah nangka di kebun yang berada cukup jauh dari rumahnya.
“Baiklah, itu bagus.” Abah sangat senang. “Kamu harus buktikan bahwa kamu anak lelaki Abah.”
Dengan semangat membara ia berkata, “Iya, siap Bah.”
“Apa Abah perlu temani kamu ke kebun?” tanya Abah.
Dengan sigap Kabayan segera melarangnya, dia merasa mampu untuk melakukannya sendiri.
“Jangan, Bah. Biar Kabayan saja yang pergi sendiri.”
Kabayan sudah berada lumayan jauh dari rumahnya. Meskipun jarang membantu Abah di kebun, tapi dia tahu dimana letak kebun milik Abah. Kabayan berjalan santai sembari bersiul, dia merasa sangat percaya diri untuk bisa memanen nangka yang diminta Abahnya, apalagi dia juga tahu cara menentukan tingkat kematangan buah nangka yang siap dipanen.
Sesekali Kabayan bertemu dengan warga yang sedang sibuk bekerja di sawah. Ya, dia akan melewati hamparan sawah kemudian melewati jalur sungai yang sedang tidak berarus deras. Kemudian ia akan naik ke perbukitan dimana disanalah letak kebun milik Abah. Kebun tersebut dekat dengan aliran sungai, atau tepatnya sumber air yang mengalir ke sungai di bawahnya.
“Kamu mau kemana, Kabayan?” tanya Sabeni yang sedang mencangkul sawahnya sendirian.
“Saya mau pergi ke kebun Abah, Beni.” Kabayan menjawab dengan segera. “Mari, saya pergi dulu.”
“Iya, silakan. Tapi hati-hati di jalan Kabayan.” Sabeni mengingatkan Kabayan yang sudah berjalan jauh ke hilir.
Kabayan sudah menyusuri area persawahan dan sekarang dia sedang berdiri di mulut jembatan yang di bawahnya dialiri air sungai yang lumayan deras. Hal itu terjadi karena air mengalir dari atas bukit dengan kemiringan yang cukup tajam. Kabayan berjalan sambil melihat ke bawah jembatan yang memperlihatkan gambaran langit yang biru. Berkali-kali ia kagum dan bertanya dalam hati, “Kenapa air bisa melukis langit di atas sana?”
Bersama rasa penasaran yang terus dipertanyakannya, akhirnya Kabayan sudah sampai di ujung jembatan. Kemudian satu langkah lagi, ia akan sampai ke kebun Abah. Kabayan harus berjalan naik ke atas bukit dengan menaiki anak tangga yang dibuat Abah sejak lama.
Kabayan sudah sampai di kebun Abah dengan badan yang kelelahan, dia tidak terbiasa untuk menaiki bukit seperti ini. Dia agak kesulitan mengatur nafasnya sendiri, apalagi dia merasa tenggorokannya kering. Kabayan segera berlari menuju air sungai yang terlihat sangat manis untuk diminumnya, semanis wedang buatan Emak jika sedang turun hujan.
Kabayan segera melompati batu besar dan sedikit berbungkuk untuk mencapai air sungai yang jernih itu. Dia minum dengan sepuasnya supaya tidak lagi merasa kehausan. Kabayan segera bersandar pada batu yang bidang, karena rasa lelah yang dianggapnya sangat luar biasa. Maka Kabayan tertidur di sana dan bahkan lupa untuk mengucapkan doa sebelum tidur.
Kabayan, Kabayan.
Kabayan segera bangun karena seperti ada yang memanggil namanya. Setelah ia benar-benar sadar ia merasa bahwa ia barusaja bermimpi. Ia menggeliat dan bangkit dari duduknya.
“Ah, kenapa aku tidur di sini?” tanyanya sendiri. “Abah bisa marah lagi kalau aku tidak cepat pulang membawa buah nangkanya.”
Kabayan segera menghampiri pohon nangka yang hendak dipanennya. Ia bisa menentukan nangka yang sudah matang dengan mencium bau harum dan menepuk-nepuk buah nangka menggunakan golok yang dibawanya.
Plukk! Pluk!
“Nah, ini baru matang!” Kabayan merasa senang karena telah menemukan nangka yang matang.
Tanpa banyak basa basi, Kabayan langsung memotong pangkal buah nagka dengan golok tajamnya.
Bugh!
Ternyata nangka yang dipangkasnya terjatuh ke tanah dan tersangkut diantara semak. Maka Kabayan segera mengambilnya dengan hati-hati supaya keselamatan nangka dan dirinya terjamin.
Sesekali Kabayan membuang nafas lelahnya sembari tersenyum karena telah berhasil mengambil buah nangka dengan selamat tanpa sedikitpun kekurangan. Ia beristirahat sejenak sambil mengipasi dirinya dengan daun pohon jambu Gana. ya, daunnya lebar seperti kipas bambu milik Emaknya di rumah.
Sekali lagi Kabayan akan membuktikan pada Abah bahwa ia anak yang berguna bagi orangtuanya. Akan tetapi ia belum sepenuhnya bisa dilakukan sebelum berhasil membawa buah nangka langsung ke hadapan Abah. Maka dengan semangat yang menggebu, Kabayan segera mengangkat buah nangka untuk segera dibawa pulang. Langkahnya terhenti setelah menatap titian tangga yang sempat membuatnya kelelahan setengah mati, ia harus menuruni anak tangga untuk sampai di bawah
ditambah dengan beratnya membawa nangka yang dipikulnya. Kabayan merenung sebentar tanpa sedikitpun gerakan sehingga yang ia dengar hanya cericit burung di pohon dan gemuruh air sungai yang menuruni bukit.
Kabayan segera berlari menuju pangkal aliran sungai, “Aku punya ide bagus dan sekali lagi Abah akan bangga kepadaku.” Sesekali Kabayan tertawa sendiri. Idenya adalah melarung buah nangkanya ke dalam aliran sungai, “Hati-hati di jalan, nanti aku akan menyusulmu!”
Kabayan kembali bersiul sambil menuruni anak tangga, ia yakin bahwa buah nangka miliknya akan segera sampai di bawah bukit. Kemudian ia melihat Abahberjalan menaiki anak tangga.
“Abah, kenapa kesini?” tanya Kabayan yang bingung sendiri.
“Eh, kamu ternyata Kabayan. Abah kesini untuk menyusul kamu,” Abah berhenti sejenak. “Kenapa kamu harus seharian penuh hanya untuk mencari nangka Abah, Kabayan?”
“Maaf, Bah. Kabayan ketiduran,” jawab Kabayan yang mengakui perbuatannya.
Abah sudah menyangka bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari Kabayan anaknya. Kemudian Abah hanya geleng-geleng kepala karena tak habis pikir dengan kelakuan anaknya sendiri.
“Ya, sudah kalau begitu. Sekarang dimana nangka milik Abah? Apa kamu tidak jadi ambil buah nangka?” tanya Abah yang penasaran karena Kabayan tidak membawa apa-apa.
“Eh, tentusaja saya mengambilnya Bah. Buahnya besar dan sudah benar-benar matang,” ucap Kabayan menjelaskan nangka yang dipanennya.
“Sepertinya itu enak. Tapi sekarang mana buah nangkanya?” tanya Abah lagi.
“Itu di bawah, Bah.” Kabayan menunjuk aliran sungai.
“Dimana Kabayan, tidak ada. Itu hanya aliran sungai.” Abah kebingungan sendiri.
“Iya, Kabayan larung nangkanya biar dia bisa sampai duluan di bawah.” Kabayan menjawab dengan percaya diri. ”Gimana, Bah. Kabayan pinter kan, Bah?”
Abah segera menepuk keningnya berkali-kali dengan raut wajah yang kesal.
“Kabayan, Kabayan. Kita tidak akan jadi makan buah nangka hari ini.” Abah segera balik badan dan menuruni anak tangga sambil berkali-kali geleng kepala.
“Kenapa, Bah. Kabayan sudah ambil buahnya, dia sudah di bawah.” Kabayan bersikeras pada pendiriannya.
“Tanya sana sama Emakmu. Abah gak mau jawab apa-apa lagi.” Abah akhirnya bicara, tapi sedikit menyakitkan. Ya, begitulah Abah yang kebaikannya tidak akan bisa digantikan oleh Emak.
Abah yang suntuk dan Kabayan yang cengar-cengir sendiri akhirnya tiba di rumah dan disambut oleh Emak.
“Mana nangkanya, Bah?” tanya Emak pada Abah.
“Tanya sendir pada anak yang selalu kamu manjakan itu. Abah mau mandi saja.” Abah menjawab dengan ketus dan langsung masuk ke dalam rumah.
“Mana nangkanya, Kabayan,” Emak bertanya kepada Kabayan dan ia menceritakan semuanya kepada Emak. Akhirnya Emak hanya tertawa dan menjelaskan maksud Abahnya yang kesal pada anaknya, Kabayan.
Belajar sedari kecil akan membuat kita pandai di saat kita sudah besar. Maka kita harus bersemangat dalam mempelajari sesuatu. Karena di masa depan kita akan membutuhkannya.
Baca Juga : Cerita Dongeng Anak Asiik...
2. Kisah Kakek Haji dan Kopiah yang Hilang
Aku tinggal di negara yang indah bernama Indonesia, nama dari salah satu negara yang terkenal di dunia. Meskipun bukan negara maju, tapi bukan berarti tidak menarik untuk dikunjungi. Banyak keindahan dan kebudayaan yang menjadi salah satu alasan negaraku ini menjadi terkenal. Tak hanya itu meskipun bukan negara yang memiliki banyak musim dalam cuaca tahunan, akan tetapi faktanya banyak musim yang sering aku lewati setiap tahunnya. Seperti musim buah durian, musim flu dan musim Haji.
Ya, negaraku lebih banyak dianut oleh orang yang beragama islam, hampir tersebar di seluruh pelosok negeri. Meskipun banyak penganut agama yang berbeda keyakinan, tapi kami disatukan dalam persatuan yang disepakati dalam Bhineka Tunggal Ika.
Salah satu musim yang sering menarik perhatianku adalah musim haji. Pergi berhaji berarti menggenapkan rukun terakhir dalam rukun islam dan itu wajib bagi mereka yang sudah mampu.
Musim Haji sudah berakhir beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan agustus sampai dengan pertengahan september. Aku mengetahuinya dari ibu. Kebetulan sekali saudara dari pihak ibuku mendapatkan kesempatan pergi haji tahun ini. Ya, waktu tunggu berangkat haji memang semakin lama dari tahun ke tahun. Dengan demikian keluarga besar mengadakan tasyakuran sebelum mereka pergi haji ke Baitullah.
Kupanggil namanya dengan sebutan kakek Deni. Ya, tapi kini harus berubah dengan sebutan Kakek Haji Deni. Entahlah kenapa kakekku memiliki gelar haji di depan namanya dan dia juga selalu memakai peci atau kopiah setiap hari.
Suatu hari kakek Haji datang bersama keluarganya ke rumahku untuk bersilaturahmi. Maka ibu sibuk menyiapkan berbagai hidangan yang memenuhi meja makan. Sementara ibu sedang menyelesaikan sedikit lagi pekerjaannya di dapur, maka aku sudah ikut duduk bersama ayah untuk berbincang bersama kakek Haji. Ayahku memulai perbincangannya.
“Bagaimana kakek Haji, suasana di mekah itu?” tanya ayah yang juga penasaran sepertiku.
“Tentusaja menyenangkan, bagaimana tidak demikian. Kita semua hanya tinggal beribadah saja dan semua kebutuhan sudah disediakan.” Kakek Haji bercerita panjang lebar dan terkadang diselingi tawa, karena ia pernah lupa tidak memakai sandal ketika keluar dari penginapan.
Aku yang penasaran juga bertanya, “Kakek Haji, kenapa sekarang jadi terus pakai kopiah setiap hari?”
Kakek Haji tertawa sembari membuka kopiah dan menunjukkan sesuatu.”Karena rambut kakek Haji habis digunduli, jadi belum terbiasa terlihat botak kepalanya.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum sendiri sambil menutupnya dengan kedua tangan. Kemudian kakek Haji kembali memakai kopiahnya kembali.
“Sekarang kita ngobrolnya sambil makan siang saja, gimana?" tawar ibu yang barusaja datang.
“Oh, iya. Ayo kakek Haji,” ajak ayah yang juga sudah bangkit dari tempat duduknya sendiri.
Kami bersantap siang bersama dengan suasana yang nyaman, sesekali diselingi cerita yang membuat suasana makan siang kami lebih meriah. Aku sangat senang kakek Haji datang hari ini dan mau menikmati masakan ibuku yang enak.
Semua orang perlahan kembali ke ruang tengah terkecuali aku dan ibu yang mau membereskan tumpukkan piring kotor.
Kemudian terdengar suara riuh dari ruang tengah, aku tidak bisa mendengar dengan jelas.
“Ada apa ya, bu. kenapa di dalam berisik gitu ya?” tanyaku kepada ibu yang sepertinya juga penasaran.
“Coba adek lihat ke dalam, nanti ibu nyusul ya,” ucap ibu yang sudah meletakkan piring kotor ke dalam bak cuci.
Kemudian aku segera masuk ke dalam ruangan tengah, kulihat di sana kakek Haji seperti sedang kebingungan.
“Dimana ya, kakek lupa lagi?” tanya kakek haji yang beruangkali bertanya pada dirinya sendiri.
Kemudian ayah dan nenek Haji juga sedang membantu untuk mencari apa yang ditanyakan kakek Haji. Bahkan secara bergantian bantal kursi diangkat, khawatir jika ada tersembunyi di baliknya. Intinya semua orang sedang sibuk mencari sesuatu.
Aku menghampiri ayah yang sedang berdiri, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku meraih ujung bajunya.
“Ada apa, Ayah?” tanyaku yang penasaran.
“Kakek Haji sedang mencari sesuatu, Dek.” Ayah menjawab dengan cepat.
“Cari apa, Ayah?” aku kembali bertanya pada ayah.
“Kakek Haji sedang mencari kopiah hajinya, Dek.” Ayah kembali menjawab pertanyaanku.
Aku masih melihat kakek Haji kebingungan.
“Kakek Haji, bukannya kopiahnya sedang kakek pakai di kepala.” Akhirnya aku katakan sembari menunjuk ke bagian atas tubuh kakek Haji. Sontak kakek Haji menyentuh kepalanya sendiri.
“Ah, kenapa sulit sekali ditemukan. Ternyata kopiahnya tidak hilang.” Kakek Haji langsung tertawa melihat penyakit lupanya sendiri. Begitu juga ayah dan nenek Haji yang akhirnya tertawa sendiri.
Mereka terbawa panik sehingga tidak bisa mengingat dengan baik.
“Anak Ayah ini pintar, yah.” Ayah segera memangku ke dalam pangkuannya.
“Sebagai imbalannya, ini kakek Haji mau kasih hadiah.” Kakek Haji menyodorkan uang lima puluh ribu.
“Karena ini hadiah, jadi Adek bisa ambil.” Ayah menyetujuinya, sehingga aku segera mengambilnya.
“Terima kasih kakek Haji.” Aku berterima kasih kepada Kakek Haji yang sudah memberiku hadiah. Kemudian semua orang tertawa, karena kembali mengingat tingkah kakek Haji yang lupa.
“Dasar, ini kakek-kakek mulai pikun ya,” ucap nenek Haji yang juga tertawa.
“Ada apa ini, kenapa saya tidak kebagian tertawa?” tanya ibu yang penasaran karena melihat kami sedang tertawa bahagia.
“Ini, Kakek Haji lupa kalau kopiahnya masih dipakai di kepalanya.” Ayah menjelaskan kepada ibu. Tentusaja itu berhasil membuat semua orang tertawa kembali.
Pesan moral :
Kita harus berusaha menolong siapa saja yang memerlukan bantuan. Akan tetapi kita harus mampu melakukannya. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak kita mampu untuk dilakukan.
1. Kisah Si Kabayan dan Buah Nangka
2. Kisah Kakek Haji dan Kopiah yang Hilang
Sumber gambar : Youtube |
Suatu hari di pagi yang baru memunculkan matahari dari balik pegunungan nan hijau di ujung pandang. Ya, sebuah desa yang masih asri, dimana sebagian pekerjaan warga adalah menjadi seorang petani. Mereka mengolah berbagai tanaman seperti berbagai jenis padi dan palawija. Hasil pertanian itu biasa dibagi menjadi dua bagian. Sebagian akan dijual dan sebagian akan dikonsumsi sembari menunggu musim panen selanjutnya.
Desa asri itu menjadi tempat tinggal Kabayan bersama orangtuanya yang rajin bekerja sebagai petani seperti yang lainnya. Setiap warga yang hidup di desa itu adalah orang-orang yang rajin bekerja, mereka berangkat pagi dan pulang sore dari ladang pertanian. Hal tersebut dilakukan terus-menerus dari satu musim panen ke musim panen selanjutnya. Setiap anak kecil yang berasal dari desa tersebut akan berangkat sekolah di pagi hari dan akan bermain setelah pulang sekolah. Banyak permainan yang sering mereka lakukan, seperti bermain gasing kayu, tembak-tembakan dan mandi di sungai. Penduduk desa sudah melek pendidikan meskipun mereka adalah petani desa.
***
Dibalik keindahan desa yang hijau dan asri kemudian anak-anak kecil yang bermain di sungai. Terdapat satu keadaan berbalik dari semuanya, hal iitu datang dari seorang pemuda yang bernama Kabayan. Dia adalah anak satu-satunya dari Emak dan Abahnya. Begitulah panggilan yang sering iya gunakan untuk menyebut ayah dan ibunya.
Kabayan memiliki kepribadian yang berbeda dengan pemuda lain yang ada di desanya. Dia tidak suka membantu Abahnya untuk bekerja di ladang atau sawah, menggunakan berbagai alasan untuk menolaknya. Di sisi lain sosok Emak yang bertindak sebagai pelindungnya dari amarah Abah. Ya, Emak yang memanjakan Kabayan sehingga menjadi pribadi yang susah diatur. Begitulah anggapan Abah untuk kesekiankalinya. Seperti hari ini Abah kembali membahas hal yang sama.
“Ini semua salah Emak yang terlalu memanjakan anak seperti dia,” ujar Abah sambil menunjuk si Kabayan yang berada di belakang punggung Emaknya.
“Ya, sudah Bah. Jangan marah-marah, lagipula ini Cuma gara-gara buah nangka.” Emak selalu menjadi pihak yang menyelesaikan perdebatan Abah yang selalu memarahi Kabayan yang malas.
“Sekarang kamu harus ikuti perintah Abah, Kabayan.”
Kabayan terkejut ketika Emak memintanya untuk melakukan permintaan Abah. Biasanya Kabayan selalu berhasil membujuk Emak, tapi sepertinya hari ini dia gagal melakukannya.
Kabayan merasa tertantang untuk melakukan permintaan Abah yakni mengambil buah nangka di kebun yang berada cukup jauh dari rumahnya.
“Baiklah, itu bagus.” Abah sangat senang. “Kamu harus buktikan bahwa kamu anak lelaki Abah.”
Dengan semangat membara ia berkata, “Iya, siap Bah.”
“Apa Abah perlu temani kamu ke kebun?” tanya Abah.
Dengan sigap Kabayan segera melarangnya, dia merasa mampu untuk melakukannya sendiri.
“Jangan, Bah. Biar Kabayan saja yang pergi sendiri.”
***
Kabayan sudah berada lumayan jauh dari rumahnya. Meskipun jarang membantu Abah di kebun, tapi dia tahu dimana letak kebun milik Abah. Kabayan berjalan santai sembari bersiul, dia merasa sangat percaya diri untuk bisa memanen nangka yang diminta Abahnya, apalagi dia juga tahu cara menentukan tingkat kematangan buah nangka yang siap dipanen.
Sesekali Kabayan bertemu dengan warga yang sedang sibuk bekerja di sawah. Ya, dia akan melewati hamparan sawah kemudian melewati jalur sungai yang sedang tidak berarus deras. Kemudian ia akan naik ke perbukitan dimana disanalah letak kebun milik Abah. Kebun tersebut dekat dengan aliran sungai, atau tepatnya sumber air yang mengalir ke sungai di bawahnya.
“Kamu mau kemana, Kabayan?” tanya Sabeni yang sedang mencangkul sawahnya sendirian.
“Saya mau pergi ke kebun Abah, Beni.” Kabayan menjawab dengan segera. “Mari, saya pergi dulu.”
“Iya, silakan. Tapi hati-hati di jalan Kabayan.” Sabeni mengingatkan Kabayan yang sudah berjalan jauh ke hilir.
Kabayan sudah menyusuri area persawahan dan sekarang dia sedang berdiri di mulut jembatan yang di bawahnya dialiri air sungai yang lumayan deras. Hal itu terjadi karena air mengalir dari atas bukit dengan kemiringan yang cukup tajam. Kabayan berjalan sambil melihat ke bawah jembatan yang memperlihatkan gambaran langit yang biru. Berkali-kali ia kagum dan bertanya dalam hati, “Kenapa air bisa melukis langit di atas sana?”
Bersama rasa penasaran yang terus dipertanyakannya, akhirnya Kabayan sudah sampai di ujung jembatan. Kemudian satu langkah lagi, ia akan sampai ke kebun Abah. Kabayan harus berjalan naik ke atas bukit dengan menaiki anak tangga yang dibuat Abah sejak lama.
***
Kabayan sudah sampai di kebun Abah dengan badan yang kelelahan, dia tidak terbiasa untuk menaiki bukit seperti ini. Dia agak kesulitan mengatur nafasnya sendiri, apalagi dia merasa tenggorokannya kering. Kabayan segera berlari menuju air sungai yang terlihat sangat manis untuk diminumnya, semanis wedang buatan Emak jika sedang turun hujan.
Kabayan segera melompati batu besar dan sedikit berbungkuk untuk mencapai air sungai yang jernih itu. Dia minum dengan sepuasnya supaya tidak lagi merasa kehausan. Kabayan segera bersandar pada batu yang bidang, karena rasa lelah yang dianggapnya sangat luar biasa. Maka Kabayan tertidur di sana dan bahkan lupa untuk mengucapkan doa sebelum tidur.
***
Kabayan, Kabayan.
Kabayan segera bangun karena seperti ada yang memanggil namanya. Setelah ia benar-benar sadar ia merasa bahwa ia barusaja bermimpi. Ia menggeliat dan bangkit dari duduknya.
“Ah, kenapa aku tidur di sini?” tanyanya sendiri. “Abah bisa marah lagi kalau aku tidak cepat pulang membawa buah nangkanya.”
Kabayan segera menghampiri pohon nangka yang hendak dipanennya. Ia bisa menentukan nangka yang sudah matang dengan mencium bau harum dan menepuk-nepuk buah nangka menggunakan golok yang dibawanya.
Plukk! Pluk!
“Nah, ini baru matang!” Kabayan merasa senang karena telah menemukan nangka yang matang.
Tanpa banyak basa basi, Kabayan langsung memotong pangkal buah nagka dengan golok tajamnya.
Bugh!
Ternyata nangka yang dipangkasnya terjatuh ke tanah dan tersangkut diantara semak. Maka Kabayan segera mengambilnya dengan hati-hati supaya keselamatan nangka dan dirinya terjamin.
Sesekali Kabayan membuang nafas lelahnya sembari tersenyum karena telah berhasil mengambil buah nangka dengan selamat tanpa sedikitpun kekurangan. Ia beristirahat sejenak sambil mengipasi dirinya dengan daun pohon jambu Gana. ya, daunnya lebar seperti kipas bambu milik Emaknya di rumah.
Sekali lagi Kabayan akan membuktikan pada Abah bahwa ia anak yang berguna bagi orangtuanya. Akan tetapi ia belum sepenuhnya bisa dilakukan sebelum berhasil membawa buah nangka langsung ke hadapan Abah. Maka dengan semangat yang menggebu, Kabayan segera mengangkat buah nangka untuk segera dibawa pulang. Langkahnya terhenti setelah menatap titian tangga yang sempat membuatnya kelelahan setengah mati, ia harus menuruni anak tangga untuk sampai di bawah
ditambah dengan beratnya membawa nangka yang dipikulnya. Kabayan merenung sebentar tanpa sedikitpun gerakan sehingga yang ia dengar hanya cericit burung di pohon dan gemuruh air sungai yang menuruni bukit.
Kabayan segera berlari menuju pangkal aliran sungai, “Aku punya ide bagus dan sekali lagi Abah akan bangga kepadaku.” Sesekali Kabayan tertawa sendiri. Idenya adalah melarung buah nangkanya ke dalam aliran sungai, “Hati-hati di jalan, nanti aku akan menyusulmu!”
Kabayan kembali bersiul sambil menuruni anak tangga, ia yakin bahwa buah nangka miliknya akan segera sampai di bawah bukit. Kemudian ia melihat Abahberjalan menaiki anak tangga.
“Abah, kenapa kesini?” tanya Kabayan yang bingung sendiri.
“Eh, kamu ternyata Kabayan. Abah kesini untuk menyusul kamu,” Abah berhenti sejenak. “Kenapa kamu harus seharian penuh hanya untuk mencari nangka Abah, Kabayan?”
“Maaf, Bah. Kabayan ketiduran,” jawab Kabayan yang mengakui perbuatannya.
Abah sudah menyangka bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari Kabayan anaknya. Kemudian Abah hanya geleng-geleng kepala karena tak habis pikir dengan kelakuan anaknya sendiri.
“Ya, sudah kalau begitu. Sekarang dimana nangka milik Abah? Apa kamu tidak jadi ambil buah nangka?” tanya Abah yang penasaran karena Kabayan tidak membawa apa-apa.
“Eh, tentusaja saya mengambilnya Bah. Buahnya besar dan sudah benar-benar matang,” ucap Kabayan menjelaskan nangka yang dipanennya.
“Sepertinya itu enak. Tapi sekarang mana buah nangkanya?” tanya Abah lagi.
“Itu di bawah, Bah.” Kabayan menunjuk aliran sungai.
“Dimana Kabayan, tidak ada. Itu hanya aliran sungai.” Abah kebingungan sendiri.
“Iya, Kabayan larung nangkanya biar dia bisa sampai duluan di bawah.” Kabayan menjawab dengan percaya diri. ”Gimana, Bah. Kabayan pinter kan, Bah?”
Abah segera menepuk keningnya berkali-kali dengan raut wajah yang kesal.
“Kabayan, Kabayan. Kita tidak akan jadi makan buah nangka hari ini.” Abah segera balik badan dan menuruni anak tangga sambil berkali-kali geleng kepala.
“Kenapa, Bah. Kabayan sudah ambil buahnya, dia sudah di bawah.” Kabayan bersikeras pada pendiriannya.
“Tanya sana sama Emakmu. Abah gak mau jawab apa-apa lagi.” Abah akhirnya bicara, tapi sedikit menyakitkan. Ya, begitulah Abah yang kebaikannya tidak akan bisa digantikan oleh Emak.
Abah yang suntuk dan Kabayan yang cengar-cengir sendiri akhirnya tiba di rumah dan disambut oleh Emak.
“Mana nangkanya, Bah?” tanya Emak pada Abah.
“Tanya sendir pada anak yang selalu kamu manjakan itu. Abah mau mandi saja.” Abah menjawab dengan ketus dan langsung masuk ke dalam rumah.
“Mana nangkanya, Kabayan,” Emak bertanya kepada Kabayan dan ia menceritakan semuanya kepada Emak. Akhirnya Emak hanya tertawa dan menjelaskan maksud Abahnya yang kesal pada anaknya, Kabayan.
***
Tamat
Pesan Moral : Belajar sedari kecil akan membuat kita pandai di saat kita sudah besar. Maka kita harus bersemangat dalam mempelajari sesuatu. Karena di masa depan kita akan membutuhkannya.
Baca Juga : Cerita Dongeng Anak Asiik...
2. Kisah Kakek Haji dan Kopiah yang Hilang
Kisah lucu Kakek. Gambar : daffa-merdeka.blogspot.com |
Aku tinggal di negara yang indah bernama Indonesia, nama dari salah satu negara yang terkenal di dunia. Meskipun bukan negara maju, tapi bukan berarti tidak menarik untuk dikunjungi. Banyak keindahan dan kebudayaan yang menjadi salah satu alasan negaraku ini menjadi terkenal. Tak hanya itu meskipun bukan negara yang memiliki banyak musim dalam cuaca tahunan, akan tetapi faktanya banyak musim yang sering aku lewati setiap tahunnya. Seperti musim buah durian, musim flu dan musim Haji.
Ya, negaraku lebih banyak dianut oleh orang yang beragama islam, hampir tersebar di seluruh pelosok negeri. Meskipun banyak penganut agama yang berbeda keyakinan, tapi kami disatukan dalam persatuan yang disepakati dalam Bhineka Tunggal Ika.
***
Salah satu musim yang sering menarik perhatianku adalah musim haji. Pergi berhaji berarti menggenapkan rukun terakhir dalam rukun islam dan itu wajib bagi mereka yang sudah mampu.
Musim Haji sudah berakhir beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan agustus sampai dengan pertengahan september. Aku mengetahuinya dari ibu. Kebetulan sekali saudara dari pihak ibuku mendapatkan kesempatan pergi haji tahun ini. Ya, waktu tunggu berangkat haji memang semakin lama dari tahun ke tahun. Dengan demikian keluarga besar mengadakan tasyakuran sebelum mereka pergi haji ke Baitullah.
Kupanggil namanya dengan sebutan kakek Deni. Ya, tapi kini harus berubah dengan sebutan Kakek Haji Deni. Entahlah kenapa kakekku memiliki gelar haji di depan namanya dan dia juga selalu memakai peci atau kopiah setiap hari.
***
Suatu hari kakek Haji datang bersama keluarganya ke rumahku untuk bersilaturahmi. Maka ibu sibuk menyiapkan berbagai hidangan yang memenuhi meja makan. Sementara ibu sedang menyelesaikan sedikit lagi pekerjaannya di dapur, maka aku sudah ikut duduk bersama ayah untuk berbincang bersama kakek Haji. Ayahku memulai perbincangannya.
“Bagaimana kakek Haji, suasana di mekah itu?” tanya ayah yang juga penasaran sepertiku.
“Tentusaja menyenangkan, bagaimana tidak demikian. Kita semua hanya tinggal beribadah saja dan semua kebutuhan sudah disediakan.” Kakek Haji bercerita panjang lebar dan terkadang diselingi tawa, karena ia pernah lupa tidak memakai sandal ketika keluar dari penginapan.
Aku yang penasaran juga bertanya, “Kakek Haji, kenapa sekarang jadi terus pakai kopiah setiap hari?”
Kakek Haji tertawa sembari membuka kopiah dan menunjukkan sesuatu.”Karena rambut kakek Haji habis digunduli, jadi belum terbiasa terlihat botak kepalanya.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum sendiri sambil menutupnya dengan kedua tangan. Kemudian kakek Haji kembali memakai kopiahnya kembali.
“Sekarang kita ngobrolnya sambil makan siang saja, gimana?" tawar ibu yang barusaja datang.
“Oh, iya. Ayo kakek Haji,” ajak ayah yang juga sudah bangkit dari tempat duduknya sendiri.
***
Kami bersantap siang bersama dengan suasana yang nyaman, sesekali diselingi cerita yang membuat suasana makan siang kami lebih meriah. Aku sangat senang kakek Haji datang hari ini dan mau menikmati masakan ibuku yang enak.
Semua orang perlahan kembali ke ruang tengah terkecuali aku dan ibu yang mau membereskan tumpukkan piring kotor.
Kemudian terdengar suara riuh dari ruang tengah, aku tidak bisa mendengar dengan jelas.
“Ada apa ya, bu. kenapa di dalam berisik gitu ya?” tanyaku kepada ibu yang sepertinya juga penasaran.
“Coba adek lihat ke dalam, nanti ibu nyusul ya,” ucap ibu yang sudah meletakkan piring kotor ke dalam bak cuci.
Kemudian aku segera masuk ke dalam ruangan tengah, kulihat di sana kakek Haji seperti sedang kebingungan.
“Dimana ya, kakek lupa lagi?” tanya kakek haji yang beruangkali bertanya pada dirinya sendiri.
Kemudian ayah dan nenek Haji juga sedang membantu untuk mencari apa yang ditanyakan kakek Haji. Bahkan secara bergantian bantal kursi diangkat, khawatir jika ada tersembunyi di baliknya. Intinya semua orang sedang sibuk mencari sesuatu.
Aku menghampiri ayah yang sedang berdiri, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku meraih ujung bajunya.
“Ada apa, Ayah?” tanyaku yang penasaran.
“Kakek Haji sedang mencari sesuatu, Dek.” Ayah menjawab dengan cepat.
“Cari apa, Ayah?” aku kembali bertanya pada ayah.
“Kakek Haji sedang mencari kopiah hajinya, Dek.” Ayah kembali menjawab pertanyaanku.
Aku masih melihat kakek Haji kebingungan.
“Kakek Haji, bukannya kopiahnya sedang kakek pakai di kepala.” Akhirnya aku katakan sembari menunjuk ke bagian atas tubuh kakek Haji. Sontak kakek Haji menyentuh kepalanya sendiri.
“Ah, kenapa sulit sekali ditemukan. Ternyata kopiahnya tidak hilang.” Kakek Haji langsung tertawa melihat penyakit lupanya sendiri. Begitu juga ayah dan nenek Haji yang akhirnya tertawa sendiri.
Mereka terbawa panik sehingga tidak bisa mengingat dengan baik.
“Anak Ayah ini pintar, yah.” Ayah segera memangku ke dalam pangkuannya.
“Sebagai imbalannya, ini kakek Haji mau kasih hadiah.” Kakek Haji menyodorkan uang lima puluh ribu.
“Karena ini hadiah, jadi Adek bisa ambil.” Ayah menyetujuinya, sehingga aku segera mengambilnya.
“Terima kasih kakek Haji.” Aku berterima kasih kepada Kakek Haji yang sudah memberiku hadiah. Kemudian semua orang tertawa, karena kembali mengingat tingkah kakek Haji yang lupa.
“Dasar, ini kakek-kakek mulai pikun ya,” ucap nenek Haji yang juga tertawa.
“Ada apa ini, kenapa saya tidak kebagian tertawa?” tanya ibu yang penasaran karena melihat kami sedang tertawa bahagia.
“Ini, Kakek Haji lupa kalau kopiahnya masih dipakai di kepalanya.” Ayah menjelaskan kepada ibu. Tentusaja itu berhasil membuat semua orang tertawa kembali.
***
Tamat
Kita harus berusaha menolong siapa saja yang memerlukan bantuan. Akan tetapi kita harus mampu melakukannya. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak kita mampu untuk dilakukan.
Belum ada Komentar untuk "Cerita Lucu Kisah Singkat tapi bikin ngakak Cerpen Update"
Posting Komentar